Bab_ 5🅰

67 20 3
                                    

Tiga hari berlalu, tapi seorang Andrenata Abraham tak berkutik  sedikitpun dari tempatnya, tidak ada keinginan melangkahkan kakinya, atau sekedar membuka pintu untuk melihat orang berlalu-lalang didepan apartemennya.

Yang dilakukannya menekuk lutut disisi kiri kasurnya, menyandarkan punggungnya ditembok, mendongakkan kepalanya menatap langit-langit kamarnya, tangan kirinya memegang benda mengandung nikotin yang asapnya sedang mengepul, abu silver pekat kehitaman berserakan disekitarnya, bekas sisa-sisa hisapannya juga tergeletak tak beraturan, membuat kamarnya yang selalu bersih dan rapi hilang kendali.

Jangan tanya bagaimana kondisinya, selama tiga hari tidak sedikitpun air menyentuh kulitnya, bahkan untuk sekedar meredakan hausnya, batuk mulai menderanya, rambut sudah tak berbentuk, kemeja yang dipakainya masih sama saat hari sabtu lalu.

Pikirannya?

Oh, jangan tanya bagaimana. Berantakan. Tiga hari yang lalu dunianya seolah dirampas, penyebab kekacauan hatinya datang silih berganti seolah tak memiliki jeda. Ia benci, benci Tuhan yang telah menciptakannya, seolah ia diciptakan hanya untuk menjadi mainan.

Pertama mamanya, ia benci wanita berumur hampir setengah abad itu, benci karena telah melahirkannya, benci karena setiap minggu harus menemuinya, benci karena wajah ayunya yang penuh iba, ia benci. Terlebih ia benci karena kebingungan dalam hatinya, ingin merasakan masa kecil penuh kasih sayang mamanya, tapi kenyataan yang diketahui membuat keinginannya dikubur dalam-dalam, bahkan jika bisa ingin sekali ia musnahkan dan tak memiliki keinginan yang pernah berkelabat itu.

Kedua, ia benci Gadisnya, gadis berambut sebahu yang menemaninya hampir tiga tahun, gadis yang membuatnya tegak berdiri, gadis yang membangunkan mimpinya, gadis yang menganggap kehadirannya, dan gadis yang menyadarkannya bahwa ia berhak bahagia. Ia benci gadis itu, menghilang tanpa sebab dan tiba-tiba.

"Selesai OSPEKnya?" tanya gadis yang menatapnya dengan senyum.

"Hhm ...," Andre mengangguk senang. "Lo kapan ada waktu luang?"

"Kenapa?"

"Kangen jalan bareng lo. Lo sih, ngambil di Univ yang beda, susah kan ketemunya."

"Aku kan, nggak keterima di Univ-mu." Gadis itu menghembuskan nafas pelan.

"Lo kan bisa ambil jalur mandiri."

Gadis itu menggeleng disertai senyuman. Senyum itu yang nggak pernah Andre lupakan.

"Aku nggak mau membebani Bunda, terlalu banyak beban yang dipikulnya."

Pikiran anak muda macam Andre tidak tahu bagaimana susahnya menjadi orang tua, terlebih ia tidak mencoba mencari tahu. Keluhan Kalila pun seperti angin lalu, ia menganggapnya bukan suatu yang berat.

"Gue bisa bayarin semester, lo."

"Nggak semudah itu Ndre, uangmu hasil orang tuamu, nggak berhak buat aku. Oh iyya, katanya lama nggak jalan, nanti malem minggu, kutunggu di kostan, ok?" Kalila mengalihkan.

Itu pertemuan terakhirnya dengan Kalila. Malamnya, saat Andre menjemputnya, Kalila sudah tidak ada, tempatnya kosong, bahkan saat Andre memasuki kamarnya, telah rapi, tidak ada barang Kalila satupun tersisa, baju-baju di lemarinya kosong. Sampai akhirnya Ibu Kost memberi tahunya, bahwa Kalia dijemput seorang pria yang diperkirakan lebih tua dari Kalila.

Sejak saat itu, malam-malam Andre dihabiskan berdiam diri, melamun, berjalan entah kemana tujuannya, kuliah hanya membawa nama dan kerangka badannya, jiwanya hilang entah kemana. Lalu pertemuan dengan Ammar sedikit merubahnya. Ya, sedikit.

Ammar yang banyak bicara tapi kaku, pun banyak tanya, mau tidak mau Andre kembali membuka suaranya yang sebelumnya tak sedikitpun ia keluarkan.

Dan kebencian pada Tuhannya bertambah, setelah dua orang yang datang di hari itu mengacaukan harinya, tepat pukul sepuluh malam papanya datang. Bagi Andre, papanya hanya pura-pura perhatian, sama seperti mamanya, perhatian karena sebuah penyesalan.

Malam itu, papanya datang membawakannya sekotak martabak dengan alasan 'papa ada rapat sama klien diresto depan apartemenmu, mumpung dekat sekalian papa lihat keadaanmu'

Sedikitpun Andre tidak memperdulikan keberadaan papanya, bahkan untuk sekedar menjawab 'hmm ...' dari celotehan atau pertanyaan pertanya papanya. Seperti, apa kabar?, bagaimana kuliahnya?, dan banyak lagi pertanyaan lainnya.

Tapi, Andre menganggap suara papanya angin yang berlalu. Bahkan martabak yang papanya bawakan tak tersentuh sampai sekarang.

Ia benci, teramat benci pada pada hidupnya.

Kling.

Andre tak bergerak. Ia enggan membukanya, malas bertemu siapapun.

Sedang seseorang yang berada di luar cemas memikirkan Andre. Ia memang teman baru, tapi bukan berarti ia tidak berhak untuk peduli. Terlebih usai kedatangan mamanya di hari sabtu, seninnya tidak ada Andre dikelasnya. Padahal, hari senin itu Andre berencana mengurus kepindahannya dijurusan Ammar. Dan hari ini selasa, pagi tadi Ammar sudah mencoba menelfon Andre, tapi nomernya tidak aktif.

Sekarang, ia berdiri di depan pintu apartemen Andre stelah kuliahnya usai, menekan bel berkali-kali tapi tidak ada tanda-tanda pintu itu dibukanya. Hingga akhirnya ia menggunakan jari-jari kukunya untuk mengetok pintu coklat pekat itu, namun tetap tak ada respon. Pikiran buruk mengagnggunya, ia mencoba memegang handel pintu, menariknya kebawah, lalu mendorongnya.

Tidak terkunci ternyata.

Sedang penghuninya tetap abai meski pintunya telah terbuka lebar, menampilkan sosok Ammar yang tanpak dari pintu kamarnya.

"Andre. Kamu ada, kan?"

Ammar mulai mencium bau asap nikotin, ruangan ini pengap, pendingin ruangannya tidak menyala, kakinya terus melangkah pelan-pelan hingga akhirnya bunyi kaleng dilemparkan mengejutkannya.

Ammar tidak akan menyangka ini hantu. Jikalau hantu, ia bukan tipe pria penakut. Tapi ia yakin pelempar kaleng itu adalah Andre.

Ya, Andre melempar kaleng yang sudah ia habiskan untuk menjawab pertanyaan Ammar. Ia ingin Ammar menemukannya, setidaknya gendang telinganya tidak sesepi selama tiga hari ini.

Ammar mencari asal suara kaleng itu, nalurinya berkata suara itu berasal dari kamar Ammar, pintu yang terbuka membuat Ammar lebih mudah menelusuri kamar itu.

Dan, betapa kagetnya ia saat melihat teman barunya berantakan, kamar dipenuhi asap rokok, beberapa kaleng berserakan didekat Andre berdiam diri.

"Astaghfirullah, Andre. Kamu kenapa? Kok kayak begini penampilanmu? Kamu memang perokok?" Andre tak berkutik, hanya melirik Ammar yang tanpak panik, dan berjongkok disampingnya.

"Kamu kenapa, Andre? Sakit? Muka kamu pucet."

Andre terbatuk-batuk tapi masih memegang rokok. Ammar mencoba menyentuh keningnya tapi ditepis oleh Andre.

"Innalillahi, tangan kamu panas And, idah jangan ngerokok, batuk-batuk begitu." Ammar mencoba meraih rokok ditangan Andre lalu membuangnya di tempat sampah kecil yang memang tersedia didekat tolet.

"Andre, kamu sakit, pindah kekasur." Lagi, usaha Ammar ingin membantu Andre berdiri ditepis, ia berusaha berdiri sendiri dengan payah dan ... ambruk.

Akhirnya Ammar lah yang mengangkat tubuh Andre yang dasarnya memang tidak terlalu berat karena badannya tidak sebesar atlet. Andre jarang olah raga, bahkan bisa dibilang tidak pernah, tubuhnya berisi tidak sehat.

Ammar kemudian membersihkan sisa-sisa batang rokok dan abunya, memindahkan bekas kaleng yang dibiarkan berserakan dimana-mana, lalu setelahnya ia keluar.

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang