Bab_ 10🅰

35 14 0
                                    

"Jadi kamu--."

"Ya, Andre dengar dan Andre pura-pura tidur kala itu."

Tepat di hari keputusan Andre untuk pergi dari rumah mama yang ditinggalinya sampai berusia empat belas tahun itu.

Setelah semalam mendengar pembicaraan mama dengan ayah tirinya, Andre memutuskan untuk membereskan bajunya kedalam koper, membiarkan barang-barang kesukaan dan mainannya yang dibelikan mama di tinggalkan.

Setelah beres, Andre tak berencana tidur, justru ia mengambil kesempatan sepertiga malam terakhir itu untuk keluar dari rumahnya setelah diperkirakan kedua orang itu telah tidur lelap.

Sampai pagi, ia tertidur di halte. Andre dulu masih punya kekuatan, karena ia kira masih ada papa, ia masih punya papa, maka pagi ini ia berencana kekantor papanya, tidak kerumahnya. Karena Andre tidak tahu dan tidak pernah dibawa kerumah papanya dengan berbagai alasan yang dilontarkan setiap Andre ingin ikut papanya saat papanya berkunjung menemui Andre.

Andre yang kala itu tidak pernah merasakan yang namanya naik Bus kota, pengap, sesak, dan baunya tidak mengenakkan di indera penciumannya terlebih Andre kala itu berdiri diantara gerombolan anak jalanan yang entah berapa kali mandi. Ingin rasanya Andre turun saat itu juga, namun ia ingat, ia harus sampai di kantor papanya dan menemui papanya.

Andre tidak tahu dimana letak kantor papanya, tapi Andre hafal nama perusahaannya. Jadilah Andre hanya menyebutkan nama kantor papanya pada kennek Bus untuk diturunkan di perusahaan Abraham.

Sampai di bangunan berlantai yang tidak bisa Andre perkirakan kala itu berapa, terlebih ia tak sempat menghitungnya, yang ia ingin lakukan saat itu hanya bertemu papanya, mengeluhkan semua yang menjadi bebannya, dan pastinya ia ingin tinggal bersama papanya.

"Maaf, Pak. Bisa antar aku ke ruang papa?"

Satpam yang ditanyai itu memperlihatkan kerutan di dahinya. "Papanya adek siapa?"

"Papa ... Ali Abraham." Bapak berkumis tebal itu berjingkat kaget. Pasalnya bapak paruh baya berseragam satpam ini tidak tahu kalau sang pemilik perusahaan memilik anak laki-laki.

Satpam itu tercengang tapi disadarkan Andre dengan melambaikan tanganny di depan muka bapak yang disebut satpam.

"Eh ... i iyya dek, eh Den. Mari saya antar."

Satpam itu hanya mengantarkan di bagian resepsionis, lalu diantar sampai dilantai, entah Andre tidak tahu itu lantai berapa, ia hanya mengikuti langkah orang yang mengantarnya.

Sampai di suatu ruangan yang terbilang prifacy, karena tidak banyak orang berlalu laland di sana, atau melihat kertas berserakan dan bertumpukan, kecuali di satu meja tepat di depan ruangan yang saat ini Andre dan orang yang mengantarnya tuju.

Sampai di meja, sang resepsionis berbincang serius dan Andre tidak ingin tahu apa yang dibicarkannya, yang penting ia ketemu papanya.

Setelahnya, seseorang penghuni meja dengan tumpukan kertas itu mengahampiri Andre.

"Adek mau ketemu, Pak Ali?" Andre mengangguk.

"Mari saya yang antar, saya sekertarisnya, Pak Ali. Nama saya Reni, panggil saja mbbak Reni ya?" Tutur perempuan itu lembut.

Berbeda dengan sang Resepsionis yang mengantarnya, tidak banyak bicara walau senyum terpatri, itu tetap membuat interaksi Andre kaku.

Andre mengangguk. "Tapi, Bapak sebentar lagi meeting, sekarang udah pukul 7.45, adek hanya akan bertemu Bapak kurang dari lima belas menit. Karena bapak pukul delapan harus sudah di ruang meeting." Andre masih mencerna kata-kata perempuan berambut ikal sebahu ini. "adek tidak apa-apa?" Andre mengangguk.

Akhirnya, pintu berukuran besar diketok pelan, membuat sang pemilik bersuara.

"Masuk." Terdengar sekali suaranya tegas.

Pintu dibuka. Menampakkan jam dinding berwarna putih lurus dengan meja dan kursi putar yang tidak ada pemiliknya. Ternyata sang empunya terduduk di sofa panjang yang terletal di pojok ruangan berkisar 6x6, terdapat meja kecil bundar sebagai pelengkapnya.

"Maaf, Pak. Mengganggu."

Seseorang yang dipanggil bapak menatap sekertarisnya sekilas, lalu menatap anak yang tak lebih tinggi dari bahu sekertarisnya itu dengan kaget yang berusaha dipendam.

"Andre?"

Setelah namnya merasa disebut, Andre berlari dan memeluk laki-laki yang disebut papanya itu.

"Pa, Andre mau tinggal sama papa," ucap Andre disela pelukannya pada papanya.

Jelas saja pria yang masih terlihat bugar dan berkharisma itu kaget mendangar pernyataan anaknya.

"Andre nggak sekolah?" Andre menggeleng.

"Kenapa?" Lagi-lagi hanya gelengan kepala sebagai jawabannya.

"Andre bisa diam disini sampai papa selesai meeting? Papa ada meeting dan papa udah telat." Andre mengangguk, hatinya lega, ia masih punya papa. Pikirnya.

Sang papa lalu menghilang dibalik pintu kebesarannya. Sedang Andre menikmati ruangan yang sejuk alami dari ventilasi jendela.

Andre sangat menikmati kunjungan pertamanya di kantor papanya ini, ia yakin kalau tinggal bersama papanya akan bahagia, tak peduli dengan mama tirinya, ia yakin sang papa tidak akan memilih perempuan yang salah.

Satu jam, dua jam terlewati, membuat Andre lelah sendiri, duduk, berdiri, duduk lagi, berdiri lagi. Ia bosan. Meski ada banyak makanan di meja bundar yang papanya kirimkan lewat OB ia tetap tak menyentuhnya, selera makannya hilang sejak semalam.

Akhirnya, di jam ketiga Andre sudah lama terlelap disofa panjang itu dengan berbantal tas ransel yang berisi buku-bukunya.

Tak lama, papanya datang, menghampiri Andre yang tertidur pulas, mengecup keningnya pelan, berdiri setelahnya dan mengambil benda pipih di sakunya, menghidupkan layarnya, mencari sebuah nama yang jarang sekali ia hubungi, sekalipun dihubungi pasti hanya bertanya perihal putranya.

"Halo, kamu kehilangan Andre?"

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang