Hari itu sebelum Andre bertemu anak kecil yang membuat Andre tergerak untuk solat lagi lalu ikut Ammar ke Madura, Andre bertemu Kalila. Ya, Kalila yang sama, yang hilang tiba-tiba.
Tiba-tiba saja Andre yang masih pulas tertidur walau sinar matahari telah menyelip di celah-celah jendela, terbangun karena suara bel. Entah pagi itu Ammar tidak ada di sana, Andre sendiri dan yang harus ia hadapi adalah masa lalu yang yang pernah mengikis duri di hati.
Andre hendak menutup pintunya kembali saat tahu seseorang di depan pintu adalah gadis yang pernah ia kasihi, ia cintai, dan yang sekarang ia benci.
Namun urung saat tangan kekar menyangga kayu persegi hitam pekat itu.
"Mau apa, lo? Nggak cukup bikin gue nyaman, sayang, dan cinta lalu dipatahkan tanpa ada kejelasan," todong Andre pada gadis yang rambutnya tak lagi sebahu. Lebih panjang dari tahun yang lalu.
Gadis itu tertunduk, seolah menyimpan luka yang sama. Andre melihat itu, tapi ia tak mau terjerembab lagi pada lubang yang sama, lalu membuat luka lagi yang serupa.
"A-aku mau minta maaf, Andre," serunya terbata-bata.
Andre menatap nyalang pada pria di sampingnya, tersenyum miring dan meremehkan. Sakit sebenarnya, tapi dia bisa apa? Egonya terlalu tinggi, kebenciannya menjulang sampai atas.
"Mau minta maaf kata, lo? Dengan membawa penyebab permintaan maaf lo?"
Gadis itu saling tatap dengan pria jangkung di sampingnya, berbicara lewat tatap, memberi isyarat tak terbaca.
"Di-dia--."
"Cukup. Gue nggak butuh penjelasan lo," bentak Andre dan menutup pintu tiba-tiba dengan kasar.
Andre yakin dubrakan pintunya mampu membuat dua orang di luar terjengkit kaget, dan Andre mana peduli?
Ketukan pintu terdengar, Andre abai. Ketukan kedua, ketiga, bahkan kelima. Anggap saja cicak menari di dinding, bathin Andre. Hatinya remuk malah tambah diremas-remas, hancur lebur.
"Andre buka dong ... aku belum jelasin," teriak sura dari luar, meski percuma. Andre hanya mendengarnya samar-samar.
Luka Andre belum mengering, tapi dengan senang hati gadis yang membuat luka justru datang dengan seorang laki-laki, berani meminta maaf di temani laki-laki. Kurang cukup ia tinggalkan Andre begitu saja dan sekarang malah datang dengan lelaki.
Andre benci, sangat benci. Kebenciannya bahkan berlipat saat gadis itu menunjukkan pria yang lebih dewasa, lebih keren dari seorang Andre.
Baiklah, Andre rasa semua cewek itu sama kalau sudah bertemu dengan yang baru, bertemu sama yang lebih baik, lebih tampan, lebih seksi, lebih maco, lebih keren. Ujung-ujungnya meninggalkan.
Tapi, semua itu tak berguna kalau tak berduit di jaman sekarang. Dan Kalila? Apakah sama? Dia perempuan tertulus yang Andre tahu. Tapi, prespektif Andre berubah sekarang, ia lebih memilih pria dewasa, lebih segalanya darinya, dan mungkin lebih berduit pula daripada Andre.
Sampai di sini cukup. Sepertinya semesta benar-benar menginginkannya menderita, seperti Tuhan benar membuat hidupnya selalu terluka.
Tak lama suara ketukan pintu itu menghilang. Dengan segera Andre memeriksa di balik pintu dan benar, benar-benar sudah hilang atau hanya memancing.
Andre benci dalam keadaan seperti ini, Ammar pun tidak tahu kemana perginya. Kalau sudah seperti ini ia ingin berlari kemanapun, kalau bisa sampai ia tak akan ditemui siapapun, termasuk Tuhannya. Ia benci.
Pintu sudah terbuka, dan Andre tak menemukan siapa-siapa. Andre melanjutkan langkahnya melewati ambang pintu, menutup pintu lalu berjalan tanpa tujuan.
Sampai di bawa, Andre bak buronan dikejar yang dua orang tapi bukan oleh Polisi, atau Rentenir.
"Gue nggak mau denger penjelasan apapun, semuanya sudah jelas, lo bawa laki-laki dihadapan gue, apa itu kurang kasi penjelasan lo ke gue? Bulshitt. Jangan ganggu gue lagi, biarkan gue nyembuhin luka sendiri, dan dengan lo tetap muncul di hadapan gue, bikin luka gue yang mau kering basah lagi tau nggak?" Sarkasnya dengan tatapan sinis yang tak mampu dibalas lawannya.
Bagaimana gadis itu mau menatap balik sedang kelopak matanya sudah menggenang.
Andre berbalik, tapi isakan tangis tiba-tiba terdengar. "Jangan nangis, nggak mempan tau nggak. Itu cuma bikin gue tambah benci. Jangan harap gue kasihan sama lo, nggak ada. Hati gue udah batu, dan itu gara-gara lo," seru Andre tanpa berbalik mentap si gadis yang tertunduk menyembunyikan isakannya.
Jangan tanya bagaimana perasaan Andre. Campur aduk, antara ingin memeluk dan membiarkannya tersedu. Hati Andre benar sudah batu, perasaan ingin memeluknya itu hanya karena rindu, tiga tahun bersama dan merupakan hal biasa, kini sudah tidak biasa. Asing.
Jadi kini Andre hanya mengikuti kemanapun kakinya melangkah tanpa membawa motornya, hanya berbekal dompet yang tetap tersemat di kantong jaketnya.
Entahlah, hatinya kosong, ia butuh sesuatu untuk mengisinya. Sayangnya semesta seolah bekerja sama dengan Tuhan untuk membuatnya benar-benar menderita. Ingin terpejam tapi ia lelah karena pada akhirnya harus bangun.
Di sini Andre tidak mengerti bagaimana takdir mempermainkannya, bagaimana Tuhan menuliskan skenarionya, bagaimana semesta membersamainya.
Lelah. Andre lelah pada luka yang tak kunjung sembuh, pada bahagia yang tak kunjung ia temukan dan ketenanga yang tak pernah diraihnya.
Tatapan Andre kosong menatap bahu jalan yang kemudian akan dilewati kakinya. Biarkan kakinya yang menemukan tujuannya, ia akan ikut. Kalaupun kakinya tak memliki tujuan, biar saja kakinya tetap melangkah sampai ia lelah dengan sendirinya, lalu berhenti kala tak sanggup lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Andrenata
Espiritualini bukan kisah bad boy yang kemudian ketemu gadis pujaannya lalu merubahnya menjadi baik. tapi, ini kisah serang anak yang tak diinginkan orang tuanya, ia dilahirkan karena sebuah keterpaksaan, tanpa cinta, pun tanpa kasih sayang. ia dilahirkan han...