Bab_ 18🅰

27 9 4
                                    

Terik mentari mulai menyingsing kearah barat, tapi dua orang yang tengah berada di dalam ruang ber-AC tak merasakan panasnya sinar mentari. Keduanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ammar berkutat di dapur yang jarang sekali dipakai, dan hari ini ia akan memasak sesuatu untuk makan siang. Mubadzir kalau tempat berkualitas lengkap tak digunakan.

Sedang Andre sejak bangun tidur sampai saat ini, ia tak beranjak sedikitpun dari sofa panjang dan terbaring di sana, merebahkan punggungnya bak kucing, terlentang, miring, tengkurep, terlentang lagi, miring lagi ke-kiri maupun ke-kanan. Terus aja seperti itu sampai muka bantalnya sejak pagi tak berubah sedikit pun, dan jangan lupa senyum yang tak pernah pudar, kepalanya seperti sudah terisi hamparan taman penuh bunga yang terbangi kupu-kupu.

Ammar pun merasa aneh melihat Andre yang tak sedikit pun beranjak dari sofa dan netranya tak mau mengalihkan sedikit pun dari benda pipih persegi yang dipegangnya.

Bahkan sampai Ammar meletakkan dua piring nasi goreng balado super pedas dengan taburan sosis dan potongan daging ayam dadu kecil, Andre tak merasa terusik.

"Kamu ngapain And? Senyum-senyum sendiri seperti orang gila kamu," komentar Ammar sambil menyendokkan nasi di piringnya untuk disuapkan pada mulutnya sendiri.

"Makan dulu, ntar dingin, kecuali aku yang habisin," gurau Ammar.

Andre masih saja berkutat pada handphonenya. Pasalnya ada seseorang yang harus ia tahu seluk beluknya. Sayangnya susah.

"Susah ternyata yak?" gerutu Andre lalu beranjak dari tidurnya, menyugar rambutnya kasar.

Ammar bingung, sendok yang hampir mendarat di mulutnya terhenti.

"Apanya yang susah? Tinggal makan doank nggak masak."

Andre yang sejak tadi masih terfokus pada HP-nya kini beralih pada Ammar.

"Bukan ini maksud gue, tapi Agatha. Susah naklukin dia."

"Kak Agatha, And."

"Bawel lo, ahh ...."

Andre segera mencomot nasi yang berada di depannya, harumnya menggoda indera penciumannya. Ah, Ammar memang pandai memasak, pasti dia sudah mandiri sejak kecil, pasti ibunya yang mengajarkan.

"Lo belajar masak sama ibu lo, Mmar?" tanyanya di sela-sela kunyahannya.

Ammar meneguk air. "Kalau masih ada nasi dimulutnya nggak baik berbicara, And. Bisa-bisa kamu tersendak nasi."

Lalu, Ammar mengangguk sebagai jawaban setelah tegurannya bak angin lalu di telinga Andre.

"Ibu memang pandai masak, aku diajarin karena ibu bilang Allah tidak menjamin ia akan selamanya di sisi anak-anaknya, akan selamanya menemani aku. Jadilah aku diajarin sejak SMP. Apalagi ibu memang sering tidak ada di rumah karena harus menafkahi kami."

Sendok yang melayang tiba-tiba terhenti. Kata-kata Ammar terngiang bak tamparan. 'Karena ibu bilang Allah tidak menjamin ia akan selamanya di sisi anak-anaknya'

Seketika hati Andre terketuk, namun egonya menguap, egonya mengalahkan hatinya, logikanya tak lagi berjalan, bisu, buntu, kaku, diam, dan cenderung tak mau ikut campur.

Ah, harusnya ia tak perlu hawatir perihal ini, toh ibunya memang tidak mengharapkannya, maka alangkah baiknya ia juga tidak akan mengharapkan ibunya, mengharapkan kehadirannya, kehangatannya, pun kasih sayangnya.

Andre tidak peduli, Andre benci.

"Kok, nggak jadi mangap And?"

Andre hanya menggeleng.

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang