Ditampar cewek berhijab beberapa bulan yang lalu membuat Andre jera untuk menggoda gadis berhijab lagi. Tapi, kampus ini mayoritas lebih banyak gadis berhijab. Jadi, ia agak susah menggoda cewek-cewek yang baginya suatu kesenangan, terlebih baginya melihat cewek tersipu itu bikin lupa kalau ada luka mendalam dihatinya.
Tapi, sekalinya menggoda kalau ujung-ujungnya ditampar ya, sakit juga.
"And, cewek noh?" tunjuk Alan lagi.
Akhir-akhir ini Andre keseringan bareng Alan, baginya dia setipe, suka cari mangsa gadis bening. Tapi, keduanya punya visi berbeda, Andre untuk mencari kesenangan, sedang Alan agar tidak menjadi Jomblo Ngenes.
Nasib ya, jadi jomblo di zaman ini.
Sedang Ammar, jangan tanya kemana dia, dia adalah anak peraih beasiswa, kalau nggak rajin dan nilai turun sudah pasti beasiswanya akan ditarik.
Sebenarnya, Andre sama. Dia peraih beasiswa, tapi mimpi yang pernah dibangunnya runtuh seketika saat gadisnya menghilang, dan dia sudah tidak peduli lagi beasiswanya, biarkan saja ia habiskan uang papanya.
"Ah, kapok gua cewek berhijab begitu."
Alan tertawa terpingkal-pingkal. Ia ingat betapa polosnya muka Andre kala itu.
"BISA NGGAK SIH KALIAN NGGAK RAME?"
ups, ini nih yang disuka Andre, menganggu ketenangan gadis jutek bernama Alice.
Gadis itu berteriak dari dalam kelas, sedang Andre dan Alan nongkrong di depan kelas. Jangan tanya gadis itu ngapain, meski bukan peraih beasiswa, dia mahasiswi yang rajin, di dalam kelas itu ada Ammar, Alice, dan cewek berķrudung yang sedang mendiakusikan tugas yang baru diberikan.
Akhirnya Andre berinisiatif untuk nyamperin mereka bertiga.
"Lagi ngapain sih kalian? Serius amat. Pacaran?"
Alan yang ngekor Andre menghampiri ketiganya, langsung menggeplak kepala Andre.
"Udah liat banyak rumus begono masih tanya lu, mereka ngapain. Mereka tuh ngerjain tugas, bukan pacaran."
"Lah iyya, kan, mereka emang pacaran ama rumus-rumus. Heran deh, gue yang dodol apa lo yang tolol?"
Plak.
Andre membalas Alan.
Alice geram. Mengatupkan bibirnya, mengeratkan giginya, lalu tatapan tajamnya pada mereka berdua yang sedang berdiri dan membuat keributan sendiri.
"Lari, macan garong udah kumat," bisik Alan pada Andre. Tapi Andre abai dan memilih senyum yang dimanis-maniskan sebagai balasan dari tatapan Alice.
Sedang gadis yang berkerudung hanya senyum-senyum mendengar dan melihat interaksi mereka, terlebih udah membuat Alice merah padam. Jangan tanya Ammar, dia udah geleng-geleng kepala dengan kelakuan temannya itu.
"Udah deh And, jangan cari masalah. Kalau mau belajar sini duduk, nanti kamu kena hukum lagi kaya kemarin lusa," seloroh Ammar dan berhasil membuat air muka Alice padam.
"Oke, gue janji nggak ganggu, mau belajar juga, kalo liat Alice kan semangat gue." Disertai kerlingan mata kirinya dan membuat Alice mendelik.
"Sini lo Lan, belajar juga lo, biar pinter."
"Hah, elo, sok lo. Gue cabut ah, gak asik lo, sok rajin."
Sepulang kuliah dan nugas, Ammar pulang bersama Andre. Satu semester sudah berjalan dan hampir usai. Kali ini, mereka bukan duduk diunta besi milik Ammar, tepatnya di motor Andre.
"And, kamu ...." Ammar ragu, tapi ini adalah kewajibannya sebagai sesama muslim, saudara seagama kalau Andre benar-benar seorang muslim.
"Kenapa Mar? Kayak cewek mau ngungkapin sesuatu aja lo, ragu."
"Emm ... tapi, jangan tersinggung atau marah ya," pesan Ammar sebelum melanjutkan bicaranya. Pasalnya, Ammar tahu bagaimana Andre kalau marah, menakutkan.
"Ngomong aja," teriak Ammar karena suaranya terbawa angin. Dia sedang mengendalikan stank. Keduanya berjalan menuju Apartemen Andre. Padahal Apartemen Andre tidak begitu jauh dari kampus, tapi Andrenya saja yang suka berkeliling mencari pengalihan untuk menyibukkan agar agar melupakan lukanya.
"Kamu ... nggak solat?"
"Nggak." Singkat, padat, dan jelas. Sayangnya ini yang membuat hati Ammar tersentak.
"Kamu ... muslim, kan?"
"Emm ...." disertai gerakan kepala yang dilindungin helm kaeatas kebawah.
"Kenap?"
"Kenapa apanya? Bisa nggak sih lo, jangan ngomong resmi begitu. Kayak ke dosen aja, terlalu formal," jelas Andre setelah membuka helmnya dan motornya sudah terparkir ditempatnya.
Sambil berjalan menuju Apartemen, Ammar meneruskan pertanyaannya dan mengabaikan komentar Andre perihal bahasanya.
"Kenapa kamu tidak solat?"
Nafas yang dihembuskan terasa berat, jelas sekali kegusaran disana. Keduanya sudah berada di lift, dan tidak ada orang lain lagi selain mereka. Andre memencet tombol lnatai diaman Apartemennya terletak, lalu mengusap mukanya kasar.
"Buat apa gue solat? Buat apa? Tuhan aja udah nggak perduli sama gue."
Kaget. Ammar, benar-benar kaget dengan pertanyaan Andre.
"Ma ... maksud kamu? Tidak peduli bagaimana? Dan ... dimananya?"
Ammar tidak paham mengapa Andre bisa berbicara begitu. Berkali-kali hati nya beristighfar setelah mendengar pernyataan Andre.
Andre membuka kunci Apartemennya dan mempersilahkan Ammar masuk.
Setelah menutup pintu, lagi-lagi ia bernafas berat sebelum bicara. "Hidup gue begini ya, menurut gue karena Tuhan udah nggak peduli sama gue."
"Hidup yang bagaimana And?"
Ammar semakin tak mengerti, pasalnya hidup Andre sudah sempurna, kebutuhannya terpenuhi bahkan berlebihan menurut Ammar.
"Udahlah, kagak usah dibahas, cape gue mikirin hidup gue."
Kling.
Ada rasa takut menyelimuti Ammar, takut yang datang adalah mamanya lagi dan Andre akan seperti macan yang ingin memangsa.
Sedang Andre dengan tatapan tanya lalu mengusap lagi mukanya gusar. Siapa? Bukankah minggu lalu dia sudah bilang mamanya untuk jangan datang ke apartemennya lagi dengan ancaman Andre tidak akan pernah mau ketemu lagi jika mamanya tetap keukuh datang menemui Andre.
Dengan malas, Andre melangkahkan kaki. Ammar yang duduk di sofa sudah siap-siap akan melihat kejadian serupa beberapa bulan yang lalu.
Kreekk ...
Tara ...
Siapa-siap?
Kita lanjut besok yes?

KAMU SEDANG MEMBACA
Andrenata
Spiritualini bukan kisah bad boy yang kemudian ketemu gadis pujaannya lalu merubahnya menjadi baik. tapi, ini kisah serang anak yang tak diinginkan orang tuanya, ia dilahirkan karena sebuah keterpaksaan, tanpa cinta, pun tanpa kasih sayang. ia dilahirkan han...