Bab_ 14🅰

27 9 0
                                    

"Kamu kenapa, And?" tanya Ammar ketika melihat gelagat Andre yang aneh, tidak biasanya ia tersenyum sendiri, padahal sebelumnya mukanya tanpak kusut dan tak bersemangat.

Sudah terhitung beberapa hari setelah Ammar kembali dari kampungnya usai liburan berakhir. Baru kali ini Ammar melihat senyum Andre, namun senyum yang aneh menurutnya.

Andre yang tidak sadar dengan sapaan Ammar, pun tidak sadar bahwa kelas telah sepi masih bergeming. Ammar mencoba menyadarkan Andre lagi dari halunya, melambai-lambaikan tangannya di depan Andre.

"And, hey ...."

Andre terkesiap lalu segera merubah mimik mukanya, melirik Ammar sekilas dan mengedarkan pandangannya ke sekitar.

"Loh, kok udah sepi?"

Ammar terkikik melihat wajah lucu Andre. "Kamu kelamaan melamun."

Andre seketika menggaruk pelipisnya merasa tertangkap basah melakukan sesuatu yang ... entahlah.

Ammar sepertinya tahu apa yang dilamunin Andre, mengingat semua anak dikelasnya merespon mahasiswi baru yang adalah kakak tingkatnya dengan heboh.

Beruntunglah Ammar paham agama, paham bagaimana hukumnya menatap perempuan yang bukan mahramnya, terlebih tidak ada sesuatu yang penting dan mengharuskan dirinya untuk menatap.

Untuk urusan beginian, Ammar merasa bersedih, dirinya tak bisa memberi peringatan pada teman baiknya ini. Andre. Bahwa memikirkan perempuan yang bukan mahram atau belum halal adalah sebuah dosa dan itu merupakan zina pikiran.

Mungkin pantasnya bukan mengingatkan, tapi memberi tahu. Karena Ammar yakin Andre belum tahu perihal hukum seperti ini, mengingat solat saja Andre tentang, mungkin bisa jadi dikarenakan Andre tidak tahu hukum meninggalkan solat.

Sedih, Ammar meras dirinya bukan teman yang baik kalau belum bisa mempengaruhi sekitarnya. Terlebih ia sudah setahun mengenal Andre, bahkan bisa dibilang dekat, tapi tak sedikitpun yang bisa Ammar lakukan untuk merubah Andre. Satu-satunya cara setelah semua usaha Amamr lakukan tidak mempan yaitu berdoa, pasrahin semuanya sama yang pemilik makhluk.

***
Keduanya sudah sampai di Apartemen Andre. Ya, kali ini Andre yang memaksa Ammar untuk tinggal bersamanya, berangkat dan pulang kuliah bareng.

Nyatanya Ammar berat hati jika harus menerima paksaan dari Andre, tapi mungkin dengan ini Ammar bisa mempengaruhi Andre. Sepertinya Andre bukan tipe orang yang suka mengikuti perkataan lalu diperaktekkan, tapi akan melihat suatu yang real lalu dianalisis baru bisa dikuti dan diperaktekkan.

Andre merebahkan punggungnya di sofa panjang, sedang Ammar langsung memasuki kamar mandi setelah meletakkan tasnya di meja.

Ammar berwudlu, karena waktu asar tinggal lima menit lagi. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan solat diawal waktu, sudah terlalu sering ia meninggalkan keutamaan itu semenjak kuliah karena jam-jam rawan perkuliahan biasanya tepat di waktu solat dzuhur atau asar.

Setelah Ammar keluar, Andre terduduk dan memperhatikan kegiatan apa yang akan Ammar lakukan. Ternyata Ammar mengambil sajadah di lemari tempat ia menyimpan baju-bajunya, lalu memasang sarung, tak lupa kopyah juga sudah terletak diatas kepalanya. Semua itu tak luput dari perhatian Andre.

"Lo mau kemana, Mmar?" tanyanya saat melihat Ammar membawa kakinya ke ambang pintu.

"Mau solat. Kenapa?"

"Mau solat kemana? Diluar? Pamer gitu?"

Ammar menggeleng. "Mau solat di masjid, lebih utama."

Andre yang tidak mengerti hanya mengerutkan keningnya.

"Gue ikut."

Lantunan syukur terpatri di hati Ammar, semoga akan terus seperti ini. Setelah melihat Andre bergegas tanpa kopyah dan sarung, Ammar mulai bertanya-tanya, pasalnya Andre hanya membawa dompet dan meletakkannya disaku celana.

"Mau ikut ke masjid?"

"Nggak lah, mau ikut keluar maksud gue. Laper; mau cari makan." Andre mendahului Ammar. Yang terakhir jelas memiliki tugas menutup pintu.

Ammar beristighfar, nyatanya dirinya salah presepsi, kadung bahagia dikira Andre akan ikut dirinya ke masjid.

Keduanya kini berjalan menyusuri lorong-lorong apartemen, masuk lift, turun lift dan keluar dari area bangunan besar nan tinggi itu.

"Kenapa lo nggak solat dikamar aja sih, Mar? Kan cape lo baru pulang kuliah juga, mesti jalan juga ke masjidnya," seloroh Andre saat keduanya sudah di luar gerbang.

"Lebih utama And, dan pahalanya duapuluh tujuh kali lipat dari pada solat sendiri di kamar, terlebih akan ada pahala-pahala yang lain sesuai yang diniatkan, seperti i'tikaf, niat meramaikan masjid, dan niat yang lainnya."

Andre mengangkat alisnya tinggi, keningnya berkerut dalam tiga garis. Ammar lupa bahwa yang ia jelaskan akan menjadi sesuatu yang tidak dipahami Ammar. Harusnya dia tidak se-enak jidat menjelaskan sesuatu panjang lebar tanpa dasar.

Ya, harusnya Ammar menjelaskan dari dasar kalau dia ke masjid ingin berjemaah, dan pahala jemaah 27 kali lipat dibanding solat sendiri, terlebih laki-laki itu lebih utama solat di masjid.

Keduanya terpisah, Ammar menuju masjid dan Andre menuju tempat makan yang berada tepat didepan Apartemen.

***
Sepulang dari masjid, Ammar mendapati Andre sedang fokus dengan gatgetnya sambil senyum-senyim sendiri.

"And, kamu beneran nggak mau solat?"

"Kenapa lo nanya tiba-tiba? Makan noh? Gue beliin lo makan." Andre melihat Ammar sekilas, menunjuk dengan netranya lalu kembali fokus pada benda pipih di tangannya.

"Iyya, aku makan ntar kalo udah adzan." Ammar tak bisa memakannya langsung, karena hari ini senin, dan dia sedang berpuasa.

Ya, berpuasa adalah kebiasaannya. Katanya sebelum Allah cabut nikmat sehatnya, setidaknya dia mengikuti sunnah rasul walau tidak keseluruhan. Terlebih katanya di hari senin dan kamis adalah penyetoran malaikat tentang amalan-amalan makhluk di dunia, dan Ammar tidak ingin buku amalan pembuka dan penutupnya berisi catatan dosanya.

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang