Bab_ 9🅰

48 14 9
                                    

Ternyata dugaan Ammar perihal mamanya adalah salah, yang datang adalah laki-laki diperkirakan berumur hampir setengah abad, atau mungkin malah mamang umur setengah abad, bepakaian rapi dengan air muka tidak bisa dikatakan santai, tegas, rahang yang sepertinya pernah kokoh, tapi karena mengikuti usia yang mulai menua, rahang itu hanya nampak ala kadarnya.

Andre segera berbalik badan setelah membuka pintu dan kembali mengusap mukanya dengan kedua telapak tangannya kasar. Entah sudah berapa kali ia melakukan itu untuk hari ini, merasakan kegusaran yang tidak Ammar ketahui tentang apa.

Laki-laki berumur dengan kemeja polos berwarna biru gelap kini berjalan ke arah Ammar, tepatnya bukan Ammar tapi Andre karena Andre duduk tepat di samping Ammar dan sesekali tatapannya teralih pada Ammar yang dibalas Anggukan dengan senyum yang terpatri sebagai sapaan sopan.

Siapa? Bathin Ammar. Pasalnya, dia belum pernah bertemu laki-laki ini selama ini, selama kenal Andre maksudnya.

Laki-laki berdasi itu membalas senyum Ammar dan bibirnya bergerak.

"Kamu teman Andre?"

"Iyya, Pak." Ammar berdiri dan menyalami bapak yang sudah sampai didepannya sebelum duduk di sofa seberangnya.

"Siapa namanya?"

"Ammar, Pak." Laki-laki itu mengangguk.

"Panggil Om saja," suaranya pelan nan tegas. Kentara sekali dia bukan orang biasa.

"I ... iyya, p--Om."

"Nggak usah gugup, santai. Saya papanya Andre." Andre menatap pria berumur didepannya dengan sinis dan seolah menusuk, lalu tatapannya berpindah pada Ammar dan menggeleng pelan.

Ammar bingung. "Iyya, Om."

Laki-laki itu menatap Andre sarat akan makna, seperti banyak ungkapan yang ingin dilontarkan dibaliknya. Ada ke khawatiran, tanda tanya, dan ... arghh, entahlah Ammar tidak bisa membacanya. Ia sudah lama tidak pernah berkomunikasi dengan seorang bapak, kalau bapak Ammar masih ada, ia perkirakan akan lebih tua dari bapak didepannya ini, sedikit.

"Andre!" Laki-laki disofa seberang itu berauara tegas, tapi Ammar bisa lihat ada kesenduan disana.

"Apa?" sarkas Andre tanpa menatap lawannya. Ia seperti manusia yang memang terlahir tanpa memiliki adab.

"Papa udah berusaha baik ya, selama ini. Papa udah berusaha bersabar sama sikap kamu, papa udah turutin kemauan dan kebutuhan kamu--."

"Andre nggak pernah minta semua itu." Andre memotong perkatan pria paruh baya didepannya.

Si lawan bicara memejamkan mata, menghembuskan nafas berat seolah ada sesuatu yang harus ia tekan agar tidak meluap. Emosi.

"Begitu cara kamu bicara sama orang tua?"

Hhh ... ujung bibir Andre terangkat, terdengar helaan nafas meremehkan disana.

"Emang papa pernah ngajarin? Beruntung ya, lo, gue masih panggil papa." Tatapan sinisnya menyimpan kebencian yang seolah tak lagi muat.

"Andre!" Naik beberapa oktaf dari nada panggilang 'Andre' yang sebelumnya.

Sedang sipemilik nama abai. Ammar yang ada disampingnya, alih-alih diam, dia justru ingin keluar dan tak mendengarkan.

"Maaf, saya permisi mau solat." Nadanya terdengar kaku dan bergetar.

Tidak pernah sekalipun Ammar mendengar bentakan seorang anak pada orang yang lebih tua, terutama orang tuanya. Di desanya, orang tua adalah yang patut dihormati. Maka tidak layak jika seorang anak bersuara lebih tinggi bahakan berkata tidak sopan seperti kejadian yang ada di hadapan Ammar saat ini.

Ammar berlalu, meninggalkan dua orang, anak dan ayah itu berbicara tanpa ada orang ke tiga.

"Gue juga pergi." Andre berdiri dan berbalik mengambil jaketnya yang ia sampirkan di sandaran sofa. Memakainya lalu berjalan menuju pintu.

"Papa nggak ngerti salah papa dimana, Ndre."

Langkah Andre terhenti selangkah sebelum sampai dipintu. Berbalik, menatap papanya dengan seringaian mengejeknya.

"Nggak ngerti, Pa? Bukannya sudah jelas, kehadiaran Andre nggak papa inginkan?" jawabnya sambil menggeleng kepalanya pelan.

"Kapan papa pernah bilang begitu?" Pria yang menyebut dirinya papa berdiri, mengelak pernyataan Andre.

"Hhh ... papa emang nggak bilang ke Andre, tapi Andre dengar percakapan papa dengan seseorang di telfon, mungkin mama. Dan Andre ingat kalimat itu sampai sekarang."

Papa Andre masih dengan kebingungannya, mencoba mengingat-ingat lagi kejadian-kejadian yang telah berlalu. Tapi, ia tak ingat kejadian yang dimaksud Andre.

Kapan? Kapan? Dan kapan? Dimana? Terus saja dikepala pria paruh baya itu terngiang terlalu lama hingga akhirnya menyerah dan terduduk kembali, memijit pelipisnya pelan. Ia lelah, baru pulang kantor dan menemui Andre yang tak kunjung baik sikapnnya. Tapi, sampai disini ia justru dihadap pada suatu teka-teki yang tak pernah diduganya.

"Papa lupa?" sang papa menatap Andre sekilas lalu tangannya kembali fokus memijit kepalanya.

"Papa lupa kapan Andre lari dari rumah dan menemui papa hanya untuk minta tinggal sama papa? Karena saat itu, Andre pikir cuma punya papa." Ada genangan air di kelopak mata anak laki-laki kerempeng itu. "Hhh ... sayangnya Andre mendapati kenyataan yang sama, bahwa Andre tak di inginkan."

Tatapan sendu penuh luka itu tak lagi menyeringai, sebaliknya, ada kesedihan dan iba pada diri sendiri yang terlihat dimatanya.

Sakit. Ya, ada bagian yang sakit didadanya, ada perih yang belum mengering namun basah kembali, ada kebencian yang dipupuk subur disana, dan sakit itu mengalahkannya.

Saat seperti ini, kesakitan yang Andre tidak tahu bagaimana cara mengobatinya, selalu ada tanya diamana Tuhannya. Tuhan yang katanya Sang Pencipta, Sang Pencinta, Sang Maha Pengasih, dan Sang Maha segalanya.

Itu kenapa Andre tak pernah percaya Tuhannya peduli. Sakit yang dirasa sendiri, Tuhan tak pernah membantunya menyembuhkan, Tuhan tak pernah datang memberi kebahagiaan, sebaliknya hanya luka yang tersematkan.

"Ingat, Pa?"

"Jadi, Kamu--."

Andrenata Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang