<46>

66 11 3
                                    

Nabila sedang duduk di ruang tengah sambil memakan cemilan yang tersedia di depannya, tangan kanannya memegang ponsel yang ia tatap dengan serius, wajahnya tampak lebih mengeluarkan aura ceria. Walaupun, ia masih sering memasang wajah datar. Tapi, setidaknya ia membaik.

Ia mendengar suara pintu dibuka. Klik. Ia pun menoleh dan mendapati Devan yang baru saja masuk. Nabila seketika meletakkan ponselnya dan berlari ke arah Devan. Nabila memeluk Devan, Devan mengangkat Nabila sedikit.

"Sumpah Bil, badan lo berat. Dan sejak kapan lo kembali menjadi bocah di depan gue. Bukannya lo bilang benci ya ama gue?" tanya Devan menurunkan Nabila. Nabila menatap Devan dari bawah sampai atas.

Ia melihat rambut Devan berantakan, mungkin itu karena helm yang ia gunakan. Keringat mengucur di dahi dan lehernya, bajunya sedikit berantakan dan yang membuat Nabila sedikit terkejut adalah tangan Devan sedikit terluka dan menampakkan darah yang sudah sedikit mengering.

Nabila berjalan ke belakang Devan, lebih tepatnya di samping pintu masuk. Di situ tersedia kotak putih berukuran sedang yang berlambangkan palang merah. Nabila mengambilnya. Ia berjalan ke arah Devan, lalu ia menarik lengan Devan sedikit paksa. Ia mendudukannya di kursi sofa.

Nabila menggenggam tangan Devan dan membersihkan pasir yang menempel di tangan Devan. Setelah itu ia membersihkan darah di tangan Devan yang telah mengering. Setelah melihat jelas luka di tangan Devan, Nabila hanya menghela nafas.

"Lo habis mukul siapa Dev?" tanya Nabila yang sibuk memberikan betadine ke luka Devan dengan pelan.

"Alien," singkat Devan. Devan terus menerus melihat Nabila yang fokus dengan lukanya.

"Bil apa cita-cita lo?" tanya Devan ngelantur, ia tidak ingin tembok es terbentuk di antara mereka. Itu akan aneh.

"A murder," kesal Nabila. Devan sedikit menyentil kepala Nabila.

"Hai gue serius," ucap Devan tepat di sebelah telinga Nabila.

"Gue gampar lo ya!" ketus Nabila. Ia mengambil segulung kain yang sedikit menjaring itu. Nabila melilitkannya ke tangan Devan.

"Lebay lo Bil," Devan berusaha melepaskan tangannya. Perban di tangannya,itu tampak berlebihan hanya untuk luka lebam akibat memukul seseorang.

"Makasih tangannya. Sekarang gue mau pinjem mulut lo," ucap Devan yang nembuat Nabila berpikir ambigu.

~•~

Kini Nabila dan Devan hanya menatap ponsel yang tergelatak di atas meja di depan mereka. Nabila sesekali melirik Devan yang santai memakan cemilannya sambil menonton TV.

"Kenapa gue harus nelfon Gani?" tanya Nabila.

Devan menghentikan tangannya yang sedang menyuapkan cemilan ke arah mulutnya. Ia menatap Nabila tanpa ada arti. Ia meletakkan toples cemilan itu di meja.

"Gue tadi udah bilang, gue pinjem mulut lo. Gak usah bawel, telfon Gani aja. Buruan!" Nabila tak ingin bertele-tela, ia mengambil ponselnya di meja dan ia menekan nama Gani di kontak miliknya. Baru saja Nabila ingin menelfon Gani, ia berbalik menatap Devan tajam.

"Tunggu, gue mau bilang apa babi!" ucap Nabila sedikit keras.

Devan mengalihkan pandangannya dan kembali fokus dengan acara yang ditayangkan TV di depannya. Devan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Nabila menyikut Devan, dan membuyarkan lamunannya.

"Ngiming tilil," ucap Nabila sedikit memajukan wajahnya dengan gerakan zig-zag ke arah Devan, dengan tujuan mengejek.

Tapi, karena keterusan Nabila berhenti tiba-tiba tepat di depan wajah Devan. Mereka hanya berjarak beberapa senti. Nabila salah tingkah karena perbuatannya sendiri.

"Ekhem...ngomong!" Nabila kembali ke posisi semualanya.

"Bilang ama Gani, ka-kalo lo ama Farhan u-udah putus. Dan...lo udah pacaran ama...gue." Nabila hanya membeku mendengar hal itu.

"Gak ada faedahnya bambang. Gaje ah. Gue mau ti-" Devan menahan tangan Nabila yang mengambil ancang-ancang untuk beranjak dari duduknya.

"Apa susahnya sih Bil? Ketimbang ngomong juga. Jangan bilang...lo takut kalo lo bakalan putus sama Farhan?" Nabila menatap kosong. Ia merasakan degupan jantungnya terasa berpacu lebih cepat, setelah Devan mengatakan itu.

Nabila berusaha melepaskan tangan miliknya dari genggaman Devan.

"Whatever! Ini demi lo juga bego!" Devan melepaskan tangan Nabila sedikit paksa. Ia mengambil remote TV di depannya dan mematikan TV itu. Devan mendentumkan remote itu ke meja. Nabila mengerjap kaget. Devan berlalu pergi meninggalkan Nabila. Nabila hanya menatapnya bingung.

"Aneh emang," ucap Nabila, ia memalingkan pandangannya ke remote yang terlihat berantakan itu. Baterainya keluar dari badan remote.






TBC
|
|
|
Jaga kesehatan guys:)

Vote ya:*

So ya, si ya:>

CLASSIC [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang