Gunung Merah

23 1 0
                                    

Karya: Hanaksara                      

                                   ***

Tepat pukul setengah lima sore, Tasya, Mulya, Aldi, Rusdy dan Adib telah berkumpul di depan posko penjagaan Gunung Merah. Seharusnya, Shela juga ikut. Namun, Shela mendadak sakit sehingga tidak jadi ikut. Usai mendengarkan setiap nasehat dari Pak Daud—juru kunci Gunung Merah—mereka mulai melakukan perjalanan. Perjalanan berlangsung selama kurang lebih empat jam sampai akhirnya mereka memutuskan untuk mendirikan tenda.

Tasya dan Mulya memutuskan untuk membersihkan depan tenda dengan dibantu oleh Adib. Sedangkan Aldi dan Rusdy, mereka mencari kayu untuk bahan bakar api unggun.

Saat tengah mencari kayu bakar, samar-samar Aldi mendengar tawa sekumpulan anak-anak kecil. Bulu kuduknya berdiri bersamaan dengan embusan angin yang yang menyapu daerah tengkuknya. Ia menoleh ke arah Rusdy, cowok itu tampak biasa saja. Ia bergidik ngeri sambil menengadahkan kepalanya ke atas.

Saat dirasa kayu yang dibawanya sudah cukup banyak, ia pun menghampiri Rusdy. Namun, baru saja hendak melangkah, tanpa sengaja kakinya tersandung sesuatu yang keras, yang mengakibatkan dirinya jatuh terjerembap ke tanah dengan kayu yang berserakan.

Senter di tangannya ia arahkan pada benda yang baru saja ia tendang. Sontak kedua matanya melebar dengan mulut menganga.

"Anjir, patok kuburan!" pekiknya. Tanpa membuang waktu, ia segera bangkit, hendak menyusul Rusdy. Namun, tatapannya terhenti ketika mendapati kain putih yang sudah kotor penuh tanah. Perlahan, ia mendongakkan wajahnya.

Sesosok pocong, berdiri tegak di hadapannya. Matanya melotot tajam. Wajahnya hitam legam, dengan luka yang sudah membusuk penuh belatung di sekitar wajahnya.

"Aaaaaaaaaa, pocong ...!" Aldi menjerit begitu keras dan berlari ke arah Rusdy.

Ia terus menarik-narik tangan Rusdy berniat mengajaknya kembali ke tenda. Rusdy yang diperlakukan seperti itu menjadi kesal. Tangannya gemetar dan panas dingin.

"Lu kenapa sih narik-narik? Lu nggak lihat di tangan gue banyak kayu?" dengus Rusdy seraya menepis tangan Aldi.

Dengan tangan gemetar, Aldi menunjuk ke belakang. "I-itu, Rus. Ada pocong," ucapnya terbata-bata.

Rusdy langsung melihat ke arah yang ditunjuk oleh Aldi. "Apaan, lu salah lihat kali," jawabnya.

"Sumpah, gue nggak bohong. Ayo balik, Rus. Serem anjir."

Tanpa perasaan sedikit pun, Rusdy menampol mulut Aldi dengan tangan kotornya, "Udah gue bilang, jangan ngomong kasar di sini. Diganggu setan, baru tau rasa."

Aldi mendelik tajam. Ia juga merasa seperti sedang diawasi. Aldi terus merengek ingin kembali ke tenda. Dengan perasaan kesal, akhirnya Rusdy menurutinya.

Pukul sembilan malam, entah mengapa mereka merasakan hawa yang tidak enak. Angin berembus kencang disertai suara-suara aneh. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, akhirnya mereka memutuskan untuk masuk ke tenda.

Mereka terlelap begitu nyenyak. Sampai tepat pukul 23.45 tengah malam, Aldi terbangun. Lagi-lagi, ia merasa bulu romanya merinding. Tak lama, ia mendengar suara cekikikan dari luar.

Ia penasaran dengan asal suara itu. Perutnya pun meronta untuk diberi makan. Ia mencoba memberanikan diri membuka tirai tenda. Tak jauh darinya, kedua matanya menangkap sesuatu yang aneh. Sebuah bayangan putih, yang saat ia perhatikan lebih menyerupai seorang nenek-nenek yang tersenyum ke arahnya. Tiba-tiba saja, bentuknya berubah menjadi sesosok kuntil anak.

Aldi terkejut bukan main. Ia pun keluar karena penasaran, dan ingin mengetahui penyebab hantu itu ada di sekitar tendanya. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan bekas pembalut yang penuh darah dibuang sembarangan. Akhirnya, ia mencoba mengambil beberapa tisu dan membuang pembalut itu ke tempat sampah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SCARED WITH WITSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang