Karya: OhAgnes
***
Setiap orang memiliki batas, jangan mencoba untuk melewatinya. Bersikaplah sewajarnya, bukankah itu lebih baik?
***
Lorong menuju kamar asramaku begitu gelap, tembok-tembok kusam menemani setiap langkahku. Cahaya lilin yang kupegang saat ini seperti tidak memiliki arti, terkadang ingin redup lalu kembali bersinar terang. Derit kursi sesekali terdengar, begitu juga dengan titik air yang memenuhi bak mandi. Semua terdengar jelas. Seakan memanggilku untuk melangkah ke sana.
Kueratkan syal rajutan yang berwarna merah muda ini. Jujur saja, kali ini aku tidak bisa merasa baik-baik saja. Terlintas perbincangan dua hari yang lalu di dalam kelas, katanya asrama ini cukup menyeramkan, sisa penjajahan Belanda. Namun, aku menyangkalnya. "Untuk apa kita menakuti seseorang yang bukan satu alam lagi dengan kita? Bukankah kita memiliki Tuhan yang kita percaya?" ucapku saat itu, dengan suara yang sedikit sombong.
Saat ini sekitar pukul 12 malam, aku baru saja ingin pulang ke asrama, dan aku sadar diri ini tak sehebat itu. Rasa takut semakin muncul ketika tangga pertama mulai kupijak. Entahlah, aku merasa telapak kakiku basah dan sedikit kenyal. Enggan aku menatap ke bawah, baunya yang sedikit anyir membuatku ingin berlari secepat mungkin.
"Wulan, kenapa lari?"
Napasku tercekat. Begitu pun dengan gemuruh dada yang kian berdentum lebih kuat. Tidak, Wulan. Itu hanyalah khayalanmu saja. Abaikan. Tutup kedua matamu. Berlarilah sekarang juga.
"Wulan? Bukankah kita sahabat?"
Tanpa pikir panjang aku berlari secepat mungkin. Kuabaikan bau anyir yang mengiringi jalanku. Kini kulihat jelas, bahwa sepatu sneakers putih yang sedang kupakai berwarna merah, seperti darah segar yang baru keluar dari dalam tubuh manusia.
"Wulan."
Panggilan itu semakin kuat, rasanya sangat menakutkan. Keringat mulai bercucuran di dahiku, aku teringat dengan banyaknya kesalahan yang kuperbuat selama aku hidup. Mama, papa, maafkan Wulan bila ada salah, batinku di tengah rasa takut yang kian terasa.
"Wulan bangun!"
Mataku membulat sempurna. Kini ada Hana di depanku. Dia menatapku cemas sembari menghapus bulir-bulir keringat yang ada di wajahku.
"Kamu kenapa?"
Aku menggeleng tidak mengerti. Rasanya seperti nyata, dan ketakutan itu rasanya seperti nyata. "A—aku tidak tahu," jawabku sedikit terbata-bata.
Dia beranjak dari tempat tidur, lalu membuka jendela kamarku. Dia membersihkan sedikit kotoran yang ada di jendela, kemudian menatapku serius. "Kamu buat aku cemas." Dia menatapku sedih. "Aku sampai bingung apa harus menelepon keluargamu atau tidak."
Aku mengernyit tidak paham. "Aku memang kenapa? Bukankah aku baik-baik saja?" Kulepas sedikit selimut merah muda yang membungkus badanku. "Lagi pula bukankah kita baru saja makan es krim di taman? Kita bergosip saat itu, kalau kamu lupa."
Hana semakin menatapku sendu. "Itu 3 hari yang lalu." Dia memegang wajahku, dan matanya sedikit berair. "Kamu sudah tidur 3 hari, tanpa bangun sama sekali."
Seperti ada yang menusuk jantungku. Tidak mungkin aku tidur selama itu, dan lagi tanpa bangun? Tidak masuk akal sama sekali.
"Wulan, aku juga bingung bagaimana menjelaskannya." Hana duduk di atas tempat tidurku lalu menatapku serius. "Kepala asrama nemuin kamu tidur di tangga, seorang diri. Kamu tidur. Nah, syal merah muda ini yang membungkus kepala kamu, dan sejak kapan kamu pakai sepatu suster?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARED WITH WITS
HorrorBerisi kumpulan cerpen horor karya member Writing in The Sky.