This Is My Life 9

375 21 0
                                    

Pov Reyhan

Namaku Reyhan Putra Dirgantara. Sebenarnya, aku belum ingin menikah. Tapi, saat mama menunjukkan foto anak dari temannya, seketika mataku langsung melotot.

Itu adalah gadis yang bermain basket tempo hari, ku berikan dia minum, tapi malah ditolak. Namun, anehnya kenapa waktu lihat aku, dia sama sekali tidak kaget. Apa mungkin dia ngga kenal, ya?

Entahlah, tidak ingin memikirkan tentang hal itu. Waktu pertama lihat dia main basket, aku langsung terpana dan jatuh cinta padanya. Oleh karena itulah, aku langsung menyetujui pernikahan ini.

Namun, apakah ia juga mencintaiku? Melihatnya waktu melamar hari itu, tidak ada kebahagiaan sedikit pun yang terlihat dari wajahnya.

Tapi, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Ku rasa, cintaku cukup untuk kami berdua. Akan selalu ku tunggu, sampai dia mau menerimaku. Aku yakin, semua akan indah pada waktunya. Semua hal itu tidak ada yang mustahil.

Pov End.

***
Kini semua rangkaian acara telah selesai, mulai dari acara salam-salaman sampai resepsi. Rasanya semua badanku sakit sekali, seharian berdiri. Namun, aku heran dengan orang yang ada di sampingku. Siapa lagi kalau bukan suamiku, Reyhan.

"Kamu capek?" tanyanya, aku hanya mengangguk.

"Istirahat gih, lagi pula tamunya tinggal dikit," sambungnya.

Kami pun menuju kamarku. Tidak seperti pasangan pengantin baru pada umumnya, kamarku sama sekali tidak di hias layaknya kamar pengantin. Hal itu, aku sendirilah yang memintanya.

Setelah di dalam kamar, ku langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Rasanya sudah lengket semua. Beberapa saat kemudian, aku pun sudah selesai dan menggunakan gamis berwarna merah maron.

"Nggak mandi, Rey?" tanyaku menatapnya yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.

"Iya, bentar dulu," jawabnya.

Aku hanya mengangguk pertanda paham, setelah itu aku pun menuju meja rias. Tiba-tiba ....

'Astagfirullah'

"Kamu mau ngapain?" tanyaku agak gugup, ia sekarang sedang berada di belakangku sambil memegang kedua bahuku.

"Aku mau ngasih sesuatu, tapi bentar ya. Aku mau mamdi dulu," ujarnya seraya mencium ubun-ubunku.

Beberapa saat kemudian, ia pun selesai mandi. Ia menggunakan trening hitam dan kaos berwarna putih. Ada rasa kagum, namun segera ku buang jauh-jauh rasa itu.

"Kita sholat, yuk!" ajakknya yang ku balas anggukan.

Kamipun melaksanakan sholat berjamaah, setelah itu ia membalikkan badan menghadapku. Karena aku orangnya peka, jadi bisa langsung ku tau maksudnya.

Ku ambil tangannya, lalu mencium punggung tangan miliknya. Namun, sebelum tangannya ku lepas, ia sudah lebih dulu mencium keningku.

Ia beranjak menuju nakas, lalu kembali lagi duduk di depanku.

"Nih, hadiah pernikahan dariku," ujarnya menyodorkan sebuah Al-Qur'an berukuran kecil.

"Kamu udah siap?" tanyanya, tubuhku langsung menegang.

"S ... si ... siap, untuk apa?" tanyaku gugup.

"Ngapain tegang gini, sih?" ujarnya mencubit pipiku.

"Ya, siap dengerin mahar kamu, lah. Emang siap untuk apa, hum?" tanyanya yang membuatku agak malu.

Ternyata eh, ternyata. Mahar toh, ya memang sih, waktu selesai ijab kabul tadi ia tidak langsung membacakan surah Ar-Rahman. Karena itu permintaan dariku sendiri.

Katanya mahar itu hanya istri yang berhak sepenuhnya, jadi aku ingin Ar-Rahman ku hanya di dengar olehku sendiri. Untung saja, semuanya sudah di bicarakan sehari sebelum pernikahan.

***

Sehari sebelum pernikahan ....

"Sayang, mahar apa yang kamu inginkan dari kami?" tanya tante Anita.

"Al, ngga mau nyusahin, tan. Jadi, maharnya surah Ar-Rahman saja, tapi...." Ku gantungkan ucapanku.

"Tapi apa, nak?" tanya kedua orang tuaku dan orang tuanya serentak.

"Al, ingin surah Ar-Rahmannya dibacakan setelah semua rangkaian acara pernikahan selesai. Maksudnya, surah Ar-Rahman itu hanya Al yang berhak dengar, tidak dengan orang lain. Karena itu, adalah hak Al sepenuhnya," jelasku.

"Bagaimana, nak Reyhan? Apakah engkau mampu memenuhinya?" tanya ayah pada Rey.

"Insya Allah, sanggup om." Jawaban yang mantap.

***

Ia pun mulai membacakan setiap ayat surah Ar-Rahman, merdu sekali suaranya. Apalagi, ngajinya pake irama jiharkah. Irama yang melambangkan kebahagiaan.

"Shodaqallahu aziim," ucapnya mengakhiri bacaannya.

Tanpa terasa air mataku jatuh, mungkin karena terharu. Ia lalu mendekatiku, mengusap air mata yang menetes.

"Kamu kok, nangis? Ada yang sakit?" tanyanya, namun aku hanya menggelengkan kepala.

"Ya, udah. Yuk, kita tidur!" ajaknya.

Aku hanya diam, memikirkan tentang malam pertama. Bagaimana, jika dia meminta haknya. Aku belum siap, sama sekali belum siap.

"Kok, malah bengong? Ayo, tidur. Ini sudah larut," ucapnya.

"Hah, iya." Berjalan menuju tempat tidur.

Namun anehnya, saat aku sudah berada di tempat tidur, ia malah beranjak menuju sofa. Aku agak sedikit bingung dengan sikapnya.

"Mau kemana? Bukannya, kamu pengen tidur, ya? Kok, malah duduk di sofa?" itulah beberapa pertanyaan yang ku tanyakan padanya, sedang ia hanya tersenyum kearahku.

"Aku tau kok, kamu belum siap. Aku juga ngga akan maksa, jadi kamu tenang aja," jelasnya.

"Maaf, Rey. Aku memang belum siap, dan betapa beruntungnya aku memiliki suami pengertian sepertimu," gumamku membatin.

"Ini 'kan ada tempat tidur, ngapain mau tidur di sofa?"

"Mending tidur aja, di sini." Sambungku.

"Emang nggak takut di apa-apain?" godanya menuju tempat tidur.

"Nggak takut, kok. Lagian 'kan udah halal juga. Emangnya kamu mau ngapain?" tanyaku.

"Oh, gitu ya? Ya, nggak mau ngapa-ngapain sih," ucap cengengesan.

Setelah itu, kami pun bersiap untuk tidur. Detik berikutnya, aku dan Rey sudah berada di alam masing-masing.

This Is My Life [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang