This Is My Life 18

273 12 0
                                    

Saat ku tatap wajahnya, tersirat kebahagiaan saat Dokter mengatakan aku hamil. Namun, aku sama sekali tidak percaya. Masa iya sudah hamil? Atau mungkin Dokter itu salah periksa?

Tak berselang lama, Dokter tadi masuk ke ruanganku.

"Apa benar ini ruangan ibu Gilbriani?" tanyanya.

"Iya dok, ada apa?" balas Rey.

"Sebelumnya saya minta maaf, laporan yang saya berikan tadi itu, milik orang lain, pak. Sekali lagi saya minta maaf," ujarnya merasa bersalah.

Raut wajah Rey yang semula terlihat bahagia, kini mendadak datar.

"Seharusnya, anda itu lebih teliti, Dokter. Jangan teledor seperti ini, saya juga seorang Dokter seperti anda. Tapi, jika menyangkut hal penting seperti ini saya akan sangat berhati-hati." Tegurnya dengan sedikit emosi.

"Sekali lagi saya minta maaf, pak, bu. Saya benar-benar telah salah," ujarnya, "Kalau begitu saya permisi, pak, bu."

Ia pun keluar dari ruangan, sedang Rey masih terlihat agak kesal dengan Dokter itu. Lalu, untuk meredam amarahnya, ku genggam erat tangannya.

"Sabar sayang, mungkin belum rezeki. Insya Allah, pasti di kasi kok," ujarku.

Alhamdulillah, kini dia sudah agak tenang. Mungkin karena panggilan 'sayang' kali, ya? Entahlah, hanya dia yang tau.

Karena sudah agak lama di rumah sakit, akhirnya aku di izinkan pulang. Rey pun membantuku untuk berjalan, karena masih sedikit pusing.

Di tengah perjalanan, Rey tiba-tiba bertanya, "Sayang, pencarian kak Ahsan masih kita lanjut? Atau enggak?"

Sejenak aku berpikir, "Apa iya, aku harus berhenti?"

Namun teringat dengan Rey. Selama ini aku sudah banyak merepotkannya, meskipun dia itu suami yang pengertian, tapi aku juga harus bisa mengerti keadaannya.

"Tidak usah, sebaiknya besok kita pulang aja. Lagian masih banyak pekerjaan di Indonesia," ujarku meyakinkan.

"Ya udah, kalo gitu besok kita pulang."

Kini kami telah sampai di rumah, dan Rey membawa koper masuk. Sekarang di sinilah kami, rumah ayah. Sepi, tak ada siapapun. Padahal dulu, aku dan kak Ahsan biasa bermain kejar-kejaran, kadang juga main ke ruang kerja ayah.

"Kok, malah ngelamun?"

"Eh, maaf."

"Pasti ingat mereka, ya?"

Aku hanya mengangguk, lalu menunduk kepala. Supaya Reyhan tidak tau kalau aku sedang menangis.

"Eh, kok malah nangis, sih? Aku ada salah?" tanyanya memegang daguku.

"Nggak papa, kok. Kamu juga nggak ada salah," jawabku lalu memeluknya.

"Udah, sebaiknya kamu istirahat. 'Kan masih lemah," ujarnya mengelus punggungku, sambil sesekali mencium kepalaku.

Aku hanya mengangguk pertanda setuju, kamu pun naik ke kamarku. Sesampainya di kamar, ia pun membaringkanku di tempat tidur.

"Kamu istirahat, ya. Aku mau ke dapur ambil minum," ucapnya mencium dahiku.

"Iya, jangan lama-lama," balasku dan ia menganggukkan kepala.

***

"Sayang, bangun gih. Udah sore nih," ujarnya lembut.

"Hoaam," suaraku mulai bangun.

"Kalo nguap itu, tutup mulut. Nanti setan masuk, lho." Tegurnya, sedang aku hanya cengengesan.

"Iya, iya. Maaf."

"Kamu mandi, habis itu makan,"

"Astagfirullah," ucapku menepuk jidat, "Aku belum masak."

"Udah, nggak papa. Aku udah masak kok, buat kita." Senyumnya.

Sungguh, suami idaman dirimu, Rey.

Cup

Ku cium pipinya, lalu secepat mungkin aku berlari ke kamar mandi.

"Udah mulai berani, ya?" tanyanya sambil berjalan kearahku.

Namun untungnya aku sudah masuk dan mengunci pintu, jadi dia tidak bisa menangkapku.

"Maaf, sayang. Kamu sih, gantengnya kebangetan!" teriakku dalam kamar mandi.

"Nggak usah ngopi," balasnya dari luar.

"Lah, siapa yang ngopi? Orang mau mandi kok."

"Kamu tuh, mau mandi atau aku mandiin? Bicara mulu dari tadi."

"Yang ngajak bicara 'kan, kamu. Kok nyalahin aku, sih?"

"Udah deh, cepatan mandi. Kalau nggak, aku dobrak nih pintu."

"Iya, iya. Ampun!" teriakku.

This Is My Life [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang