Kini waktu menunjukkan pukul 3.25, aku terbangun dari tidur. Saat sudah sadar sepenuhnya, akupun beranjak untuk ke kamar mandi. Namun, kok nggak bisa gerak gini? Apa semua tubuhku keram? Ah, nggak mungkin.
Ku lirik makhluk yang ada di sampingku, astaga ternyata dia memelukku. Ku perhatikan setiap inci wajahnya, sungguh dia sangat tampan. Namun, apakah hatinya sebaik wajahnya?
Astagfirullah, kok malah kepikirann yang bukan-bukan. Bagaimanapun dia, aku harus menerimanya. Baik dan buruk itu sudah yang Allah takdirkan untukku.
"Rey...." Suaraku lirih, namun sang empu tak merespon sama sekali.
"Rey, lepasin. Aku mau sholat, nih." Tanganku berusaha melepas pelukannya. Namun, tenagaku kalah telak.
"Hoamm, ngapain sih? 'Kan belum subuh, tidur lagi aja." Suaranya bikin emosi.
"Lo, mah tidur, tidur aja. Tapi, tangannya lepasin dulu. Sesak, tau nggak?" keselku.
Iya memang bangun, tapi tidur kembali. Namun, bukan itu yang membuatku jengkel, melainkan tangannya yang semakin erat memelukku.
"Nih orang, sayang istri atau gimana, sih? Meluk mah, meluk aja kali. Tapi nggak gini juga, mana sesak banget lagi. 'Kan kagak lucu, kalau ada berita 'Suami peluk istri malah meninggal'." Gerutuku.
"Lagian, berani amat meluk gue. Nggak takut nih, anak?" sambungku.
"Ya elah aku, mana takut dia. Orang waktu dia meluk, gue tidur. Bodoh ah, mending gue wudhu, terus sholat," pikirku.
Dengan sekuat tenaga, akhirnya pelukannya terlepas. Leganya, bisa nafas lagi.
Beberapa jam kemudian, kini waktunya sholat subuh, dan Rey sudah bangun sejak kejadian beberapa jam yang lalu.
Kini dia telah siap untuk pergi ke masjid, namun entah kenapa mataku tak ingin berpaling darinya.
"Masya Allah, tampan." Spontan ucapku.
Beberapa saat kemudian, aku sadar lalu membekap mulutku dengan tangan.
"Kamu bilang apa, tadi?"
"Apaan, sih. Orang kagak ngomong apa-apa, kok," balasku mengelak.
"Yang tadi itu, kamu bilang kalau aku...." Kalimatnya ku potong.
"Kalau apa?" sergahku cepat.
"Ngga jadi, deh. Oiya, aku berangkat ke masjid dulu, ya." Aku menyalaminya.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam,"
***
Kini keluarga Alfatih sedang sarapan, namun sebelum itu, Rey terlebih dahulu pamit. Katanya ada urusan penting. Jadi, sarapannya kali ini seperti biasa.
"Pagi, yah, bunda!" seruku.
"Pagi, Nak." Sahut mereka.
"Kakak, nggak di sapa, nih? Mentang-mentang udah punya suami, kakak sendiri di lupain," cerocosnya.
"Nih, kakak gue ke sambet apaan? Pagi-pagi udah nyerocos, aja. Ngajakin ribut atau apa sih?" gumamku membatin sambil menatapnya datar.
"Sorry, kagak liat," ucapku datar.
"Ya elah, kagak liat atau emang nggak mau liat? Udah jelas-jelas dari tadi kakak di sini, masa iya kagak keliatan? Tuh mata di pake kagak?" pertanyaan beruntun yang ia lempar malah membuatku jengkel.
"Oiya, dek. Tuh muka datar amat, udah kayak tripleks tau nggak?" sambungnya di akhiri kekehan.
Malas meladeni obrolan tak berfaedah itu, ku putar mata malas menanggapinya.
"Idah, San. Jangan gangguin adikmu terus!" suara ayah memerintah.
"Iya, yah," ucapnya cengir kuda, sedangkan bunda hanya menggelengkan kepala melihat tingkah anak-anaknya.
***
Hari ini, aku dan Rey akan pindah ke rumah miliknya. Bukan rumah mertuaku, melainkan rumah suamiku sendiri.Rey adalah seorang Dokter muda, memang waktu itu dia adalah kakak kelasku. Tapi, kata bunda, dia itu udah tes Dokter sejak masuk kelas XII.
Jadi, setelah lulus ia sudah bisa langsung bekerja. Apalagi, rumah sakit tempatnya bekerja adalah milik ayahnya sendiri.
"Kalian mau pindah hari ini, Nak?" tanya bunda.
"Iya, bund. Soalnya Rey ada pekerjaan, jadi harus pindah hari ini," ujarnya sambil memasukkan barang-barang ke bagasi mobil.
"Baiklah, Nak. Kalian hati-hati, ya." Pesan ayah.
"Iya, yah."
"Dek, jangan nakal lho, kamu itu sudah punya suami. Ingat tuh," ujar kak Ahsan.
"Iya, bawel amat sih. Emang siapa juga yang nakal? Kakak, kali tuh?" balasku tak mau kalah.
"Eh, di kasih tau malah...."
"San, udah deh. Adek kamu tuh mau pergi lho, kok malah bertengkar sih?" tanya bunda.
"Dia, duluan tuh, bunda." Sambil nunjuk ke arahku.
Ku ambil tangannya, lalu mematahkannya.
"Aww, sakit Bambang!"
"Rasain tuh, Jubaedah,"
Rey, ayah serta bunda hanya tertawa dan menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is My Life [Completed]
RomanceNamaku Gilbriani Mad Husna Alfatih, seorang gadis blasteran Indonesia-Inggris. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki, bernama Muhammad Ahsanillah Alfatih. Ayahku seorang pengusaha berkebangsaan Inggris, sedangkan bunda juga seorang pengusaha,namun b...