Tatapannya lurus kedepan, mulut ngoceh ngga jelas, tuh bibir udah kayak Piramida. Ku endap-endapkan kaki menuju tempat ia duduk, dengan cepat ku cium pipi kanannya. Setelah itu, ku lari ke kamar.
"Udah berani ya, awas aja!" lalu mengejarku.
***
"Buka pintunya Al. Kalau ngga mau, aku dobrak, nih!" teriaknya depan pintu kamar."Ngga mau, ada kecoa!" teriakku tak kalah keras.
"Kecoa? Dimana?" herannya.
Tak ada sahutan, Rey pun bersiap-siap untuk mendobrak pintu kamar. Namun sebelum itu, aku sudah terlebih dahulu membuka pintu.
"Eh, hampir aja pintunya ku dobrak."
"Ngapain didobrak?"
"Kamu sih, ngga mau bukain pintunya."
"Tapi, kenapa malah dibuka?" sambungnya.
"Oh itu, bunda tadi nelpon. Katanya kita harus ke rumah besok. Soalnya ayah, bunda sama kak Ahsan akan kembali ke London besok," jelasku lesu.
"Baiklah, besok kita ke rumah bunda," sahutnya.
***
Kini aku, Rey, dan seluruh keluarga Alfatih tengah berada di bandara. Selagi menunggu kak Ahsan membeli tiket, akupun berbincang dengan kedua orang tuaku."Ayah, bunda kapan balik lagi?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca.
"Entahlah, Nak! Tergantung kerjaan ayah disana," jawab ayah.
"Iya, Nak! Lagipula kamu 'kan udah punya Rey, jadi ngga bakalan sendirian lagi." timpal bunda.
"Oiya, nak Rey! Kamu tolong jagain Al, ya. Kalau dia berbuat salah, tegur saja. Namun, jangan sampai kau berbuat kasar padanya. Kalau kau sudah tidak sanggup dengannya, tolong kembalikan dia pada kami, jangan kau telantarkan dia." pesan ayah.
"Iya, yah! Rey janji bakal jaga Al dengan baik, dan Rey tidak akan pernah tinggalkan dia sendiri." jawabnya mantap.
Sedangkan aku hanya menunduk sambil menahan agar aku tak menangis. Kenapa sih, ayah pesannya kayak gitu. Emangnya dia tidak akan kembali.
Beberapa saat kemudian, kak Ahsan pun datang. Lalu, mereka pamit padaku dan Rey untuk berangkat.
"Kamu jaga diri baik-baik ya, Nak! Nurut ama suami, selama itu dalam kebaikan. Assalamualaikum," ucap bunda padaku.
"Iya, bunda. Hati-hati ya," balasku melepaskan pelukannya.
"Kami berangkat ya, Nak!" pamit ayah mencium kepalaku.
"Jangan nakal ya, adekku sayang! Kalau kakak pulang, nanti kakak bawakan oleh-oleh ya," ujar kak Ahsan sembari memelukku.
"Hei, bro. Jagain Adekku gue, ya. Kalau nakal, cubit atau dijewer aja telinga kanannya," ujar kak Ahsan pada Rey.
"Beres, bro!" jawab Rey mengacungkan ibu jarinya.
"Assalamualaikum." ucap mereka serentak.
"Wa'alaikum salam." balasku dan Rey.
Kini pesawat yang ditumpangi mereka pun lepas landas, ku lambaikan tangan pada mereka. Entah mereka melihatnya atau tidak, aku tak tau.
"Sayang! Yuk, pulang!" ajaknya merangkulku.
"Iya," balasku.
Saat di mobil, tangisku pecah seketika. Karena khawatir, Rey pun menepikan mobilnya.
"Kamu kenapa, sayang?"
"Ngga tau, Rey. Kayak ngga ikhlas aja mereka pergi,"
"Udah, ngga perlu nangis. Mereka akan baik-baik saja disana," ujarnya menenangkanku.
Setelah agak tenang, kami pun kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampainya di rumah, segera ku menuju kamar untuk istirahat.
***
Tanpa terasa, kini matahari sudah berganti bulan. Setelah melaksanakan sholat, aku dan Rey pun bersantai sambil nonton berita."Pemirsa, telah terjadi kecelakaan pesawat *** dengan tujuan dari Indonesia-Inggris tadi siang. Menurut tim evakuasi, tidak ada korban selamat," ujar pembawa berita.
Seketika mataku melotot, tubuhku rasanya gemetar. Bukankah itu pesawat yang ditumpangi mereka.
"Ayah!! Bunda!! Kak Ahsan!!" jeritnya histeris.
Sama halnya denganku, Rey pun sangat syok. Namun, ia tetap kuat. Karena ia harus menguatkan dan menenangkanku.
Setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian. Tapi, mengapa harus keluargaku ya, Allah?
"Ti ... tidak mungkin, itu bukan mereka. Iya 'kan, Rey?"
"Kamu yang sabar, sayang. Aku yakin itu bukan mereka, kok. Sekarang kamu tenang, ya!" ucapnya sambil mendekapku.
"Hiks, hiks ... kenapa kalian lakukan ini? Kenapa??" isakku.
"Sekarang kamu tenang, ya. Kalau kamu gini terus, aku jadi khawatir. Kamu jangan gini dong, sayang. Besok kita ke rumah sakit, ya?"
Aku hanya mengangguk, rasanya sesak sekali. Ya Allah, semoga itu bukan mereka.
***
"Dokter, apa disini ada anggota keluarga Alfatih?" tanya Rey, pada seorang Dokter yang menangani korban kecelakaan."Maaf, pak! Sebagian besar identitas korban belum ditemukan, sehingga sulit untuk menemukan keluarga bapak," jelasnya.
"Baiklah, dok. Kalau ada kabar mengenai keluarga saya, tolong hubungi nomor ini," ucap Rey menyodorkan kartu namanya.
"Baik, pak. Kalau begitu saya permisi," lalu ia meninggalkan kami.
"Kamu sabar ya, pasti mereka akan ditemukan. Kamu juga harus kuat, jangan kayak gini. Kalau ayah sampai lihat kamu gini, nanti dia juga akan sedih. Yuk, kita pulang sekarang, kamu harus istirahat, ya!"
Lagi-lagi hanya anggukkan yang kuberikan sebagai jawaban. Aku tau, Rey pasti khawatir melihat keadaanku seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, ini sungguh berat bagiku.
***
Hari berganti minggu, namun tidak ada kabar tentang keluargaku. Apa mereka selamat atau sebaliknya? Hampir setiap hari, ku menangis.Karena kondisiku yang masih syok. Rey sering pulang cepat dari rumah sakit, kadang aku sudah memintanya jangan berbuat seperti itu. Namun jawabannya masih tetap sama.
"Rey, sebaiknya kamu jangan sering pulang cepat, seperti ini!" tegurku.
"Emang kenapa, sayang? Aku 'kan khawatir sama kamu, lagipula rumah sakit itu 'kan punyaku, jadi ngga papa, dong!" serunya.
"Maafkan aku, Rey! Gara-gara aku, kerjaanmu jadi terganggu." lirihku.
"Ngga ganggu kok, sayang!" ucapnya memelukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is My Life [Completed]
RomanceNamaku Gilbriani Mad Husna Alfatih, seorang gadis blasteran Indonesia-Inggris. Aku mempunyai seorang kakak laki-laki, bernama Muhammad Ahsanillah Alfatih. Ayahku seorang pengusaha berkebangsaan Inggris, sedangkan bunda juga seorang pengusaha,namun b...