jeffrose_'s present
"Selamat pagi Ibu, Ayah mana?" Xiaojun kebingungan melihat kursi yang biasa diduduki ayahnya kosong.
"Ayah sudah berangkat tadi pagi-pagi sekali." Jawab Nyonya Xiao sambil menghidangkan nasi dan lauk pauk.
"Proyek dengan Tuan Chou? Memang beliau menyetujuinya?" Xiaojun keheranan. Nyonya Xiao tersenyum lembut dan mengusak rambut putra semata wayangnya tersebut.
"Bukankah kau sendiri yang tidak menyetujui perjodohannya?" Ia menyodorkan sepiring nasi pada Xiaojun.
"Maafkan aku." Xiaojun menunduk dan berkata pelan.
"Tidak apa, kebahagiaanmu adalah prioritas kami." Kata Nyonya Xiao.
"Lalu sekarang proyek Ayah apa lagi?" Tanya Xiaojun.
Nyonya Xiao mengangkat bahunya. "Itu urusan Ayahmu, kita tidak usah tahu. Kau belajar saja yang rajin."
"Ibu..." Xiaojun menahan kalimatnya ragu.
"Kenapa?" Nyonya Xiao duduk si kursi sebelahnya.
Xiaojun memperlihatkan cengirannya. "Tidak jadi."
Nyonya Xiao mengangkat alisnya. "Kau yakin?"
"Sebenarnya ada yang menganggu pikiranku belakangan ini." Xiaojun menyendok nasinya. "Aku tidak tahu ini penting atau tidak."
"Apa hal itu, sayang?" Nyonya Xiao mencondongkan tubuhnya.
"Aku... merasa aneh dengan tubuhku." Xiaojun menatap Ibunya. "Apa menurut Ibu, aku berbeda?"
Nyonya Xiao tersenyum lembut. "Apa yang membuatmu merasa berbeda?"
"Aku tidak punya banyak darah dalam tubuhku, fisikku lemah dan lidahku mati rasa, aku juga tidak kuat matahari. Itu cukup berbeda bukan?" Xiaojun berkata dengan pelan.
"Setiap individu itu berbeda, Dejun. Kelemahan dan kelebihan yang membuatnya berbeda." Kata Nyonya Xiao. "Perbedaan itu membuat kita saling mengenal. Coba bayangkan jika semua makhluk itu sama, maka bagaimana cara kita mengenalnya? Kita tak akan punya teman baik dan sahabat."
Xiaojun mengetukan sendok ke piringnya. "Tapi aku kan berbeda sekali, Ibu. Aku tidak bisa seperti Yangyang, atau Xuxi. Bahkan Kun-ge dan Sicheng-ge pun lebih kuat dari kelihatannya."
"Dejun, jika kau rendah diri karena penyakitmu maka kau keterlaluan, banyak orang yang menginginkan kelebihanmu tanpa kau sendiri sadari." Nyonya Xiao mengakhiri ceramahnya dengan senyum. Ia memberikan pil penambah darah pada Xiaojun dan memegangi airnya.
"Meskipun selama ini aku mungkin tidak bersyukur akan keadaan tubuhku, tapi aku selalu bersyukur memiliki Ibu dan Ayah." Xiaojun memeluk Ibunya.
Nyonya Xiao mengelus punggung putranya. "Tentu kami pun bersyukur memilikimu, dan kau pula mesti merasa begitu. Sekarang kau harus berangkat, nanti terlambat."
"Baik, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry That I Walked Away ● HenXiao ●
Fantasy[Completed] "Kengeriannya, ketakutannya, depresinya. Bahkan aku seolah-olah bisa mendengar pekikan ngilu kawanan mereka, begitu nyaring. Serta tusukan tombak perak yang menembus dada kiriku, memecahkan jantungku dan mematahkan seluruh tulang rusukku...