jeffrose_'s present
"Selamat pagi sayang."
"Selamat pagi Ayah, Ibu."
Xiaojun tersenyum simpul mendengar sapaan orangtuanya. Ia pun duduk di kursi sebelah Ayahnya yang tengah membaca koran dengan secangkir kopi didepannya, bersiap untuk sarapan.
"Hari ini pulang jam berapa?" Tanya Ayahnya. Kening Xiaojun mengernyit, terkejut karena tiba-tiba Ayahnya bertanya seperti itu.
"Mungkin sedikit lebih sore, sekarang bagian tim Yangyang bermain." Ujarnya.
"Bisa tidak kau sampai dirumah sebelum jam 6?" Tanya Ayahnya lagi.
"Mungkin bisa, memang ada apa?"
Ayahnya hanya tersenyum, lalu tangannya bergerak mengacak rambut putra semata wayangnya tersebut. "Ada acara keluarga. Pulanglah jam 5 dan dandan setampan mungkin, oke?"
Meski ragu, tapi Xiaojun hanya mengangguk. Ia tak mungkin membantah perkataan Ayahnya. "Akan kuusahakan."
"Sampaikan dukungan Ayah untuk Yangyang. Ia penyerang yang berbakat." Tambah Ayahnya. Xiaojun mengangguk dan tersenyum.
Tak lama, Ibu Xiaojun datang sambil meletakan sepiring omelet didepan pemuda beralis tebal itu. Bukan hanya itu, Ibunya juga menyodorkan segelas air dan selembar tablet penambah darah. "Jangan lupa meminumnya, Ibu tidak mau menjemputmu lagi hanya karena kau pingsan di tengah-tengah lapangan."
Xiaojun tertawa mendengar ucapan Ibunya. Lalu dengan perlahan ia menghabiskan makanannya yang terasa hambar itu. Ia meringis. Dahulu, ia selalu protes kenapa masakan Ibunya selalu terasa sama meski perempuan itu telah memberikan banyak rempah-rempah kedalamnya. Semenjak tumbuh dewasa, ia menyadari bukan hanya masakan Ibunya yang hambar, tetapi semua makanan yang ia cicipi diberbagai tempat selalu terasa begitu. Lalu di umur 11 tahun pemuda itu menyimpulkan bahwa lidahnya mati rasa sejak dulu.
Ia menenggak tablet berwarna putih itu dan melarutkannya dengan segelas air yang ia minum dalam sekali teguk. Lalu ia bangkit sembari membawa tas dan jaketnya. "Ayah, Ibu, aku berangkat dulu." Ujarnya.
"Jangan lupa nanti sore!"
"Iya, Ayah!"
"Dejun-ge!"
Xiaojun berbalik dan mendapati Yangyang sedang menghampirinya sambil tersenyum dan melambai-lambai tangannya. Pemuda itu tersenyum dan meringkus kepala lelaki yang lebih muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry That I Walked Away ● HenXiao ●
Fantasía[Completed] "Kengeriannya, ketakutannya, depresinya. Bahkan aku seolah-olah bisa mendengar pekikan ngilu kawanan mereka, begitu nyaring. Serta tusukan tombak perak yang menembus dada kiriku, memecahkan jantungku dan mematahkan seluruh tulang rusukku...