jeffrose_'s present
Hendery memandangi punggung Xiaojun yang berjalan di depannya. Punggung itu begitu sempit dan terlihat lemah, berbeda sekali dengan Jenkinson di masa lalu. Tapi aura yang mereka kuarkan tetaplah sama. Begitu kuat dan penuh dengan ambisi. Aura itulah yang membuat Hendery begitu yakin bahwa sebenarnya mereka memiliki jiwa yang sama, meskipun penampilan fisik mereka jauh berbeda.Xiaojun berbalik dan memandang ke arah Hendery. Sejenak waktu mereka rasakan tidak bergulir. Angin berhembus dan menerbangkan beberapa helai anakan rambut kecokelatan milik Xiaojun. Hendery terhenyak. Raut lelah Xiaojun dan pipinya yang agak cekung serta kulitnya yang memucat karena kekurangan darah dengan jelas membuat Hendery ingat ketika ia pertama kali bertemu Jenkinson.
Baik Jenkinson saat itu maupun Xiaojun kini, mereka tetap terlihat agung dan tak nyata bagi Hendery. Seperti patung yang abadi dan tidak fana. Ia menatapnya tak berkutik sehingga dengan tak sadar ia mengabaikan perkataan Xiaojun yang ditujukan kepadanya.
"Hey, apa kau mendengarku?" Xiaojun melambaikan tangannya di depan wajah Hendery.
Hendery tersadar dan menggelengkan kepalanya. "Ah, maaf. Apa yang kau katakan tadi?"
Xiaojun melihatnya bingung, "kau tidak sedang sakit, bukan?"
"Tidak! Tentu tidak. Aku tidak pernah sakit," tukasnya. "Aku hanya- sedikit melamun."
Xiaojun masih menatapnya dengan curiga. "Aku bertanya apakah kau ingin membeli minum tadi."
"Tentu saja, aku senang sekali," jawab Hendery kaku.
Xiaojun tak menjawab. Ia menarik tangan Hendery agar mereka berjalan sejajar. "Kau akan disangka pengawalku oleh orang-orang jika terus berjalan di belakangku begitu."
Hendery membenarkan dan tertawa canggung. Xiaojun mengerutkan alisnya keheranan.
"Kau benar-benar tidak sedang sakit, kan?"
Hendery menggeleng. "Aku tidak pernah sakit seumur hidupku."
"Oh, ya? Pasti menyenangkan punya badan sehat seperti itu," ujar Xiaojun dengan nada memuji. Lalu ia menundukkan kepalanya, "andai aku juga memiliki kesehatan luar biasa seperti itu."
"Xiao," Hendery memandangnya prihatin. "Ingatlah bahwa ketidak sempurnaanmu adalah kelebihanmu."
Xiaojun tertawa. "Kau benar. Aku tidak sedang bersedih, kok. Hanya berandai-andai."
"Jangan pernah berandai-andai menjadi orang lain," Hendery berkata tegas. "Aku menyukaimu apa adanya."
Xiaojun memandangnya. Ia tersenyum kecil. "Terimakasih."
Hendery membalas pandangannya. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum kemudian kompak membuang muka masing-masing dan tertawa.
"Kita mampir dulu untuk membeli minum. Kau ingin apa?" tanya Xiaojun.
"Ayolah, Xiao. Kita berdua tahu bahwa apapun minumannya tak akan ada artinya di lidah kita,"
"Kau benar," Xiaojun tertawa. "Kalau begitu aku beli air putih saja."
"Pilihan bagus."
Mereka tertawa setelahnya. Hendery menghembuskan nafasnya. Dadanya terasa jauh lebih lega sekarang. Ia memandangi punggung Xiaojun yang sedang membelikannya air minum. Ia merasa sangat bahagia. Sangat bahagia. Ia tak ingin kehilangan Xiaojun untuk kedua kali. Ia akan mengorbankan apapun untuk itu.
"Satu botol air untuk Tuan Wong," Xiaojun melemparkan botol kemasan berisi air kepada Hendery.
Hendery dengan sigap menangkapnya. "Terimakasih, Tuan Xiao."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry That I Walked Away ● HenXiao ●
Fantasi[Completed] "Kengeriannya, ketakutannya, depresinya. Bahkan aku seolah-olah bisa mendengar pekikan ngilu kawanan mereka, begitu nyaring. Serta tusukan tombak perak yang menembus dada kiriku, memecahkan jantungku dan mematahkan seluruh tulang rusukku...