Tanpa terasa, sudah genap sebulan ini, Dave dan Karen menjalin kedekatan mereka secara diam-diam. Di setiap jam pulang sekolah, atau tepatnya di saat Dave tidak memiliki jadwal pelajaran tambahan, keduanya pasti akan menghabiskan waktu berdua di kedai es krim.
Mulai dari membahas soal matematika, hingga tak jarang keduanya berdebat tentang hal-hal yang ujungnya malah memacu detakan jantung mereka masing-masing.
Seperti yang terjadi di sore hari ini, saat Karen sedang serius menatap buku tulisnya, tiba-tiba saja sang pembuat soal berujar, "Sudah sepuluh menit. Kamu sudah selesai belum?"
Seraya menggelengkan kepala, "Susaaah..." keluh Karen lalu mengembungkan kedua pipinya.
"Susah apanya sih? Itukan angkanya tinggal dikali-kali saja, Karenina."
Melihat Karen yang tidak juga mengoperasikan angka-angka di hadapannya, Dave yang mulai merasa geram lantas mengambil alih pensil dari tangan sang murid.
"Nih, perhatikan," Dave kemudian menuliskan soal buatannya secara ulang di lembar baru.
"Kalau penyebut dari pecahannya masih berbentuk akar seperti ini, berarti pecahan ini masih bersifat irasional dan harus kamu rasionalkan."
"Duh, lama-lama otak Karen bisa ikutan irasional deh ini," celetuk Karen dengan mata yang terfokus ke arah kertas.
"Makanya, kalau sedang diajarin tuh jangan kebanyakan komentar dan perhatikan pengajarnya," tanggap Dave dengan nada galak meski sebenarnya dia tengah berusaha menahan tawa.
"Ah, bilang saja Kak Dave minta diperhatikan sama Karen," balas Karen yang sedikit banyak sudah mulai hafal dengan kelakuan gurunya itu.
Dave mengembuskan napas panjang lalu menyuap satu sendok es krim ke dalam mulutnya. Setelah menelan, "Memangnya kamu mau kasih perhatian untuk saya?" Dave mulai melancarkan serangan lisannya.
"Kalau Karen kasih, nanti Karen dibayar apa, Kak?"
"Kamu maunya apa?"
Dan kalau sudah begini, maka siapa pun yang melihat mereka pasti sepakat mengatakan bahwa Dave dengan kalimat ambigunya sangatlah pas dengan Karen yang terkenal berjiwa kepo sejak kecil itu.
"Per-perhatian balik boleh, ngga, Kak?"
Dave sontak menaikkan alis kanannya. "Memangnya perhatian dari trio kwek-kwek itu kurang, Kar?"
Mendengar ketiga kakaknya disebut seperti itu, Karen tertawa keras dan juga lepas. "Hahaha... Trio kwek-kwek... Lama-lama mulutnya Kak Dave tuh mirip sama Om Rizal deh!"
Sungguh tidak bisa dipungkiri, Dave dengan mulut pedas dan juga sikapnya yang galak itu, justru terlihat begitu menggemaskan saat dirinya harus berhadapan dengan sejumlah kemanjaan yang dilakukan oleh Karen.
"Sudah... sudah. Ayo, kembali ke soal," ajak Dave guna mengalihkan fokus Karen.
"Soal perhati--"
"Sudah ayo lihat ini," potong Dave yang memang selalu saja begini.
Hobi banget menggantung pembicaraan! Begitulah teriak Karen di dalam hatinya.
Setelah dua puluh menit berlalu, sampailah Karen pada soal terakhir yang harus dikerjakannya. "Huaaaa... kepala Karen panas banget nih!" teriak Karen yang membuat Dave terkekeh dan juga melambaikan tangannya ke arah pramusaji yang kebetulan melintas di dekat mejanya.
"Es krim cokelatnya tambah satu cup lagi ya, Mas," ucap Dave yang sontak membuat Karen mengerutkan dahinya.
"Hadiah kecil untuk kamu," terang Dave setelah pramusaji bername-tag Ilham itu berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Davendra✔ (Completed)
General FictionSeri ketiga dari The Trisdiantoro's Love Story "Kalau matahari saja bukan satu-satunya bintang di alam, seharusnya kamu juga bukan satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh hati." Davendra Nadithya Trisdiantoro terus saja mengingkari perasaannya...