Begitu siuman, Dave langsung meminta Nicholas untuk memapah dan mengantarkannya ke ruangan. "Gue bakal nganterin, tapi ada syaratnya," tanggap Nicholas yang kemudian menyuruh Dave untuk meminum obat yang sudah disediakan oleh dokter Irwan. Dikarenakan tidak memiliki pilihan lain, akhirnya pria berwajah pucat itu mengiakan pemaksaan tersebut.
Setelah menyaksikan Dave melaksanakan syarat yang diajukan, Nicholas bergegas membantunya untuk berdiri.
"Terima kasih, Dok Irwan," ucap Dave yang langsung dibalas oleh sang dokter dengan sebuah permintaan untuk rutin dan juga menghabiskan obat yang diberikannya.
"Dokter tenang saja. Ada saya yang siap untuk mengingatkannya dengan tamparan bolak-balik, kok." Jika saja tubuhnya tidak selemas ini, sudah pasti Dave akan meladeni ucapan Nicholas tersebut.
Usai berpamitan dan dipersilan, keduanya pun meninggalkan ruang kesehatan secara perlahan. Saat mereka sudah berada di dalam lift, Nicholas mengajukan pertanyaannya. "Di depan Dokter Irwan lo, kan, ngaku lagi stress berat. Nah, gue mau tahu penyebab utamanya, dong, Dave."
"Ya, seperti yang bisa lo lihat sendiri di berbagai media. Tiga hari yang lalu, warehouse DE yang ada di Bandung dan Subang terbakar. Lalu, sehari setelahnya, beberapa kurir gue juga diserang geng begal dan di kemarin sore, gue malah ketemu Karen dengan kekepoannya itu."
Alih-alih menunjukkan empati, Nicholas justru terkekeh geli. "Jadi, yang mana yang menjadi penyebab utama lo stress berat, Davendol?"
Tidak ingin menjawab, "Eh, Nich. Lo tahu aplikasi Abang Antar, ngga?" Secara refleks, Nicholas menganggukkan kepalanya. "Kalau boleh jujur, kehadiran mereka sebagai pemain baru di bisnis ekspedisi juga bikin kepala gue mau pecah nih."
"Abang Antar itu punya Bimasakti Gustoro bukan, sih?"
"Iya, itu punya dia."
"Ck! Kalau orangtua punya harta setinggi Gunung Gede, anak buat perusahaan yang basisnya bagi-bagi duit juga didukung aja, ya," komentar Nicholas yang bertepatan dengan sampainya mereka di lantai lima.
Begitu pintu terbuka, semua mata pun tertuju pada dua kaum adam berbeda style itu. Seakan lupa dengan siapa yang menjadi atasan di kantor itu, para karyawati justru sibuk menyapa sang pengawal.
Meskipun hanya menggunakan kaos oblong dan celana jin, nyatanya kehadiran Nicholas tetap saja mampu mengobrak-abrik iman setiap kaum hawa yang ada di lantai itu. Selain memiliki wajah yang enak untuk dilihat, keramahan yang selalu ditunjukannya juga sangat berpotensi untuk menghayutkan hati siapa pun yang berada di dekatnya.
Seusainya menanggapi semua sapaan dan juga godaan, "Buat yang masih jadi pemain tunggal putri, jangan lupa buat akun di Jari Manis, ya!" Nicholas menyempatkan diri untuk berteriak sesaat sebelum dirinya ditarik masuk oleh Dave.
Sambil terkekeh-kekeh, pendiri aplikasi Jari Manis yang bertarget ingin menandingi aplikasi berlogo api itu pun mendudukkan diri di sofa yang ada di depan meja kerja Davendra.
"Lo ngga mau buat akun di JM, Dave?" Dengan cepat Dave menggeleng. "Kalau jadi ambasadornya lo mau, 'kan?" Baru saja Dave akan kembali menolaknya, "Nanti gue pasangin lo sama Karen deh. Bagaimana?"
Rasa pusing yang tadinya sudah mulai mereda, kini kembali mendera Dave tanpa ampun. "Lo sudah ngga waras ya, Nich?" tanyanya seraya memegangi kepala.
Tanpa mau berdebat soal kewarasan, Nicholas menjelaskan keuntungan yang bisa didapatkan dari idenya itu. "Selain membuat Jari Manis jadi semakin hits, lo juga jadi punya alasan untuk ketemu Karen, Dave."
"Kenapa gue harus ketemu Karen?"
Nicholas berdecak kesal. "Lo bilang, lo mau nyelidikin Karen! Terus, kalau lo ngga sering ketemu, bagaimana lo bisa ngulik-ngulik informasi tentang dia, Davendol super dodol?" ujarnya sembari mati-matian menahan diri agar tidak menggampar pria yang kini terlihat sedang berpikir keras.
Setelah sekian menit menimbang, Dave menyuarakan pertanyaannya. "Kalau gue setuju sama ide lo, nanti gue sama Karen harus ngelakuin apa saja, Nich?"
Mengingat bahwa Dave telah beberapa kali mendapat pekerjaan serupa dengan tawaranya, Nicholas mengelus dada lalu mengembuskan napasnya dengan kasar. "Lo yakin nanya soal beginian sama gue?" Dengan wajah yang terlihat sangat serius, Dave mengiakannya dengan mantap.
Belum sempat Nicholas berbicara, suara ketukan pintu yang disusul dengan suara Reno memanggil Dave pun terdengar.
"Sekarang keadaan kamu bagaimana, Dave?" tanya Reno setelah menyimak pemaparan Nicholas tentang kronologi pingsannya Dave di parkiran.
"Dave sudah baik-baik saja kok, Uncle." Tanpa aba-aba, Nicholas dan Reno kompak berdecak.
"Kalau baik-baik saja, ngga mungkin wajah kamu pucat begitu."
"Setuju!"
"Diam lo, Nich!" Dave pun melemparkan pulpen yang ada di atas mejanya ke arah Nicholas.
Usai berhasil menghindar, Nicholas yang tidak ingin menganggu aktivitas dari dua petinggi DE itu memutuskan untuk berpamitan.
Dave mengiakan dan juga mengingatkan sang sahabat untuk membawa pulang mobilnya. "Kapan-kapan main ke rumah ya, Nich!" imbuh Reno ramah.
"Dengan senang hati, Uncle!" sahut Nicholas sebelum meninggalkan ruangan.
*****
Sesampainya di depan mobil milik Davendra, Nicholas malah memusatkan perhatiannya pada sebuah objek yang berada 100 meter dari tempatnya berdiri saat ini. Sembari menyipitkan kedua mata dan bergerak mendekat ke arah mobil berwarna merah, dia pun bergumam, "Itu Karen bukan, sih?"
Saat dia yakin kalau penglihatannya tidak salah, "Karen! Kar!" Nicholas berteriak memanggil.
Karen yang baru selesai memastikan mobil terkunci pun menoleh ke arah datangnya suara. "Kak Nicho?" Nicholas mengangguk dan tersenyum manis padanya. "Kakak kok ada di sini dengan ..." Karen tampak memperhatikan Nicholas dari ujung kepala hingga ujung kakinya, "... penampilan yang begini?"
"Gue abis nganterin Dave," jawab Nicholas yang kemudian menceritakan insiden pingsannya Dave di parkiran ini.
Begitu ditanya alasan dari kedatangannya, Karen mengangkat paper bag yang dijinjing oleh tangan kirinya. "Karen mau balikin jaketnya Kak Dave," jelasnya yang membuat Nicholas mengangguk paham.
Di detik selanjutnya, Nicholas kembali bertanya, "Eh, Kar. Kamu mau bantuin gue, ngga?" Melihat kerutan di dahi Karen, "Gue lagi butuh dua ambasador untuk Jari Manis nih. Untuk yang pria sudah ada dan menurut gue, dia cocok banget berduet sama kamu."
"Siapa, Kak?"
"Davendra." Tanpa diduga, putri bungsu dari pasangan Bagas dan Nadine itu langsung mengalihkan pandangannya ke bawah. Menghindari tatapan mata Nicholas yang tampak sedang menyelidiki sesuatu darinya.
"Jadi, bagaimana, Kar? Kamu mau bantuin gue, 'kan?" Bukannya segera menjawab, Karen justru menggigit-gigit bibirnya. Tampak seperti sedang menimbang sesuatu yang sangat krusial bagi hidupnya.
"Mau, 'kan, Kar?" desak Nicholas lantaran Karen tidak juga meresponnya.
"Hmmm... sebenarnya Karen mau bantu Kak Nicho, tapi Mas Alex belum tentu ngizinin."
"Mas Alex? Mas Alex siapa, ya, Kar?"
"Alexio Andromeda, Kak."
Sempat terngaga, "Loh? Kok harus dapat izin dari dia?" Nicholas kembali mengajukan pertanyaannya.
"Hmm... soalnya Mas Alex itu... calon suaminya Karen."
"Calon suami kamu?!" Enggan untuk memberikan penjelasan, Karen langsung berpamitan pada Nicholas. Dia juga mengatakan bahwa setelah mengantar jaket ini, dirinya harus menjemput Alexio di Bandara.
Usai menyilakan Karen untuk berlalu, sebuah pertanyaan pun muncul di otak cerdasnya. Kalau Karen memang sedang terburu-buru, kenapa dia tidak mengirim jaket itu melalu jasa antar saja? Terus apa katanya tadi? Alexio adalah calon suaminya? Ah, gue yakin, Dave pasti belum tahu soal ini!
Happy reading!
Jangan lupa ramaikan dengan komentar kalian!😘💕
.
.
.
Kak Rurs with💎
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Davendra✔ (Completed)
General FictionSeri ketiga dari The Trisdiantoro's Love Story "Kalau matahari saja bukan satu-satunya bintang di alam, seharusnya kamu juga bukan satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh hati." Davendra Nadithya Trisdiantoro terus saja mengingkari perasaannya...