Tak Pantas

1.9K 176 6
                                    

Malam sudah semakin larut, tapi mata Karen tidak juga bisa terpejam. Alasannya tak lain karena ancaman yang dilontarkan Dave tadi pagi itu terus saja terngiang di telinganya. Seribu kali Karen mencoba untuk menampiknya dengan menumbuhkan rasa sangsi, maka jutaan bayangan mengerikanlah yang datang menghampirinya.

"Kalau Kak Dave benar-benar membunuh, bagaimana, ya?" gumam Karen seraya meraih ponsel yang diletakkannya di nakas samping tempat tidurnya.

Begitu ponselnya berada di hadapan, Karen langsung membuka ruang chatnya dengan Dave. Meski jam sudah menunjukkan pukul 11.25, ternyata pria muda kebanggaan keluarga Trisdiantoro tersebut sedang dalam jaringan.

Apakah Kak Dave juga tidak bisa tidur sepertiku?

Meskipun sempat ragu karena teringat dengan bagaimana perubahan sikap Dave setelah melontarkan kalimatnya, pada akhirnya Karen mengetikkan rangkaian kata yang tengah bercokol di benaknya.

Begitu kalimat yang diakhiri dengan tanda tanya itu sudah selesai diketik, perempuan tersebut justru menghampusnya. "Kenapa jantungku jadi deg-degan gini, ya?" Karen memegang dada kirinya, merasakan degupan yang sangat kencang dari sana.

Baru saja Karen akan mengetik lagi, layarnya sudah menampilkan keterangan bahwa dirinya mendapat panggilan suara dari kontak yang diberi nama Kak

Setelah Karen membalas salam yang diucapkan penelepon, "Kamu mau kirim pesan apa sama aku?" Dave langsung bertanya seperti biasanya. Tanpa basa-basi.

"Hah? Itu... Eh, nggak kok, Kak."

"Karenina..." Suara embusan napas Dave terdengar jelas setelahnya.

"I...iya, Kak Dave?" Kali ini, keheninganlah yang datang dan menyelang pembicaraan mereka.

Setelah cukup lama terdiam, "Aku--"

"Karen--"

Setelah keduanya berucap di waktu yang bersamaan, baik Karen maupun Dave malah sama-sama menyilakan lawan bicaranya untuk berucap terlebih dahulu.

"Kak Dave, kan, yang telepon Karen, jadi Kakak dong yang ngomong duluan," ucap Karen dengan nada suara yang dibuat semanja mungkin.

"Hmm... baiklah," putus Dave yang nyatanya mempunyai dua hal yang harus disampaikan pada Karen. Selain meminta maaf karena telah mengancam hingga membuat Karen terlihat ketakutan sepanjang hari, dia juga ingin mengabarkan perihal tugas dadakannya yang harus menemani sang paman pergi keluar kota selama sepekan lamanya.

"Jadi, Kak Dave nggak akan benar-benar membunuh dia, kan?" Bukannya memberikan maaf atau menanggapi kabar tersebut, Karen malah bertanya terkait ancaman tersebut.

Dave menghela napasnya dengan cepat, "Maunya kamu bagaimana?"

"Sudah pasti, Karen nggak mau kalau Dave bunuh dia."

"Kenapa begitu?"

"Ya, ka-karena Karen nggak mau Kak Dave berbuat dosa besar seperti itu."

"Kenapa nggak mau?"

"Memangnya Kak Dave mau masuk penjara dan juga neraka?"

Tawa Dave terdengar dari seberang. "Rasanya lebih baik aku masuk ke penjara dan neraka karena ngebunuh orang jahat sih, daripada punya rasa sayang dan cinta tapi nggak bisa wujudkan dalam sebuah bahtera rumah tangga."

"Kak Da--"

"Aku sangat sayang dan cinta sama kamu, tapi sayangnya semua perasaan ini hanya akan menjadi tumpukan dosa karena hubungan di antara kita yang tidak juga sah di mata agama dan negara, Karen."

Embusan napas Dave kembali terdengar. "Jika sepulangnya aku dari nemenin Uncle Reno ke Surabaya kamu masih tidak mau menikah dengan ak--"

"Jangan bilang kalau Kak Dave akan langsung ngebunuh dia?!"

"Aku akan membunuh semua perasaan ini," lanjut Dave tanpa terpengaruh dengan pertanyaan Karen.

"Kak Dave mau mengingkari perasaan terhadap Karen lagi?"

"Tidak dan tidak akan pernah bisa."

"Tapi kok Kak Dave bilang 'akan membunuh semua perasaan ini'?"

"Karena membunuh perasaan itu lebih mudah daripada mengingkarinya. Lagipula aku hanya tinggal menanamkan pemikiran bahwa menurut seorang Karenina Semesta Setiawan, Davendra Nadithya Trisdiantoro itu sangatlah tidak pantas untuk menjadi suaminya."

"Karen nggak mak--"

"Saat pertama kali aku dengar kalau kamu hanya ingin menikah dengan pria yang sekaya Levin, sekalem dan sesabar Kevin, seromantis Om Bagas, setampan Alvin, sekeren Grandpa Tian dan juga secerdas Om Rizal, seharusnya aku langsung membunuh perasaan ini sampai habis. Iya, membunuh. Bukan mengingkarinya."

Tidak juga diberikan kesempatan untuk berbicara, Karen yang tidak menyangka jika Dave sudah mengetahui perihal itu pun menangis sejadi-jadinya. Sungguh, dia sangat ingin menjelaskan alasan terciptanya kriteria-kriteria itu pada Dave.

"Aku minta maaf sudah membuat kamu menangis lagi ya, Kar. Maaf juga kalau sampai kapan pun aku tidak akan bisa sekaya Levin, secerdas Om kamu itu, sekeren Grandpa Tian dan juga setampan Alvin. Aku bukan tipe pria kalem dan sabar seperti Kevin apalagi seromantis Om Bagas."

Saat suara isakan Dave terdengar, Karen langsung merasakan ada sembilu tak kasatmata yang menusuk dadanya. Rasanya begitu sakit tapi dia tidak bisa melihat tetesan darah dari sumber lukanya.

"Kak hiks... Kak Dave hiks... jangan nangis hiks..."

"Kamu juga jangan nangis dong," balas Dave yang justru terdengar tengah mati-matian menahan perasaan sedihnya.

"Sampai kapan pun, kamu adalah semestaku. Jadi, aku mohon tetaplah bahagia agar aku tetap bisa hidup." Alih-alih menghentikkan tangis, ucapan Dave justru berhasil membuat keduanya semakin larut dalam kesedihan.

Bagaimana bisa aku bahagia jika Kak Dave saja akan membunuh perasaannya?

Bagaimana bisa aku hidup jika nantinya Karen bahagia dengan orang lain?

Happy reading! Kok nyesek gtu ya?
.
.
.
Kak Rurs with💎

Semesta Davendra✔ (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang