Sebenarnya Karen masih enggan untuk pulang ke rumah, tapi ketidak kuasaannya untuk menolak permintaan sang kakak ipar, membuat dia berada di sini sekarang. Di kediaman miik kedua orangtuanya.
Begitu mendapati Karen yang mencari-cari keberadaan Rinka, Nirmala dan juga keempat keponakannya yang lain, Icy pun mengatakan kalau mereka semua sedang menginap di rumah orangtua masing-masing. "Kata Mas Kevin, setelah pertemuan kalian selesai, Mas Levin dan Mas Alvin akan langsung kembali ke rumah Abah Firman dan Bunda Desna," terangnya sebelum masuk ke dalam kamar dan meninggalkan Karen sendirian di ruang keluarganya.
Dengan posisi kepala yang ditundukkannya dalam, saat ini Karen tengah duduk berhadapan dengan kedua orangtua dan juga ketiga kakaknya. Setelah sekian menit berlalu, Karen menaikkan pandangannya hingga bersitatap dengan Bagas dan Nadine. "Pa, Ma, Ka-karen minta maaf," ucapnya sekaligus memecah kesunyian di ruangan itu.
Tidak langsung menanggapi permintaan itu, Bagas pun mengajukan pertanyaannya."Apa alasan kamu tidak pulang dari rumah selama beberapa malam ini?" Meski nada suara yang terdengar biasa saja, tapi tetap saja membuat Karen merasa takut.
Karen tidak langsung menjawabnya. Dia terlihat mengedarkan pandangannya terlebih dahulu pada Alvin yang duduk di samping Bagas, lalu beralih ke Levin dan juga Kevin yang duduk di samping sang mama. Mendapat tatapan yang tidak bersahabat dari ketiga kakaknya, dia terlihat menelan ludah dengan kasar.
"Karen?" panggil Nadin dengan nada yang terdengar lembut.
"Karen minta maaf, Pa, Ma." Bagas dan Nadine kompak menggeleng. Sungguh, bukan kalimat inilah yang mereka ingin dengar sekarang.
"Sebelum kamu meminta maaf dan kami maafkan, tolong beri tahu dulu alasanmu melakukan itu," tanggap Bagas yang diangguk oleh semua orang di sana.
Karen lantas menjawab sambil meremas-remas jarinya. "Alasan Karen pulang ke apartemen... hmmm... karena Karen tidak mau dimarahin sama Mas Levin, dicuekin sama Mas Kevin dan juga dicecar Mas Alvin, Pa, Ma."
Bagas menghela napasnya. "Tindakanmu tidak akan menyelesaikan masalah, Karenina."
"Iya, Pa. Karen salah," aku Karen dengan sepenuh hati.
"Kamu ngga ajak Alexio untuk menginap di sana, kan, Kar?" tanya Nadine dengan kepala yang sudah mulai dipenuhi dengan bayangan-bayangan akan hal-hal bernilai dosa yang bisa saja dilakukan oleh pria dan wanita yang saling mencintai tapi belum diikat dalam tali pernikahan.
"Mama bisa cek semua cctv yang ada di apartemen Karen," jawab Karen yang sudah paham ke mana arah pembincaraan mamanya itu.
Sembari membiarkan sang putri meyakinkan Nadine, Bagas pun menyusun kalimat tanya yang dimaksudkan agar dia tahu apa penyebab Karen tiba-tiba makan siang di restoran miliknya.
"Oke, Mama percaya sama kamu," ucap Nadine yang kemudin menyilakan Bagas untuk melanjutkan bahasan mereka.
"Selain tentang alasan tidak pulang ke rumah, boleh Papa tahu, apa yang menjadi alasan kamu tiba-tiba makan siang di Roseril?"
Tidak menyangka akan ditanya seperti itu, Karen pun harus memutar otak untuk dapat mengeluarkan jawaban yang dirasanya paling aman. "Alasannya sesederhana karena Karen kangen makan nasi bakar dan ayam gorengnya Roseril kok, Pa."
"Mengapa keinginan kamu bisa muncul di saat yang sama dengan kedatangannya keluarganya Dave?" Kali ini, Levinlah yang mengajukan pertanyaannya.
"Bisakah hal yang semacam ini kita anggap sebagai sebuah kebetulan?" tanya Karen balik seraya menggigit bibir bawahnya.
"Andai saja Papa bisa percaya dengan kebetulan, tentu Papa akan menganggapnya demikian, Karenina."
Karen mengembuskan napasnya panjang. Kalau sudah begini, dia bingung mau berkata apa. Apalagi karena hal itu terjadi memang bukan karena kebetulan. Tanpa diketahui siapa pun, Karen memiliki seorang mata-mata yang biasa memantau keadaan dari pria yang pernah mencuri hatinya itu.
Ketika keheningan mulai menyeruak di antara mereka, Karen tampak memusatkan indera penglihatannya pada tangan yang tadi sempat digandeng oleh Dave hingga pipinya sontak memanas. Tanpa bisa dibantah, perlakuan Dave memang punya pengaruh sekuat itu pada tubuhnya. Terutama jantung dan juga pipinya.
"Kamu kenapa, Kar?" Suara Nadine menginterupsi lamunan Karen.
Sontak Karen menaikkan wajahnya. "Kenapa apanya, Ma?" Dia menatap sang mama dengan wajah bingung.
"Setelah kamu tidak bisa meyakinkan Papa soal peristiwa yang kamu sebut kebetulan itu, wajahmu jadi berubah memerah saat melihat tangan," jawab Nadine yang membuat Kevin langsung membisikkan sesuatu pada sang kakak.
"Kamu sakit, Kar?" tanya Alvin yang langsung digeleng Karen dengan cepat.
Merasa bahwa situasi ini sudah cukup gawat untuk rahasianya, maka Karen bangkit lalu bersimpuh di hadapan kedua orangtuanya.
"Karen minta maaf, Pa... Maaf karena Karen menerima lamaran Mas Iyo tanpa membicarakannya terlebih dahulu pada Papa," ucap Karen dengan penuh penyelesalan sekaligus berharap jika sang papa tidak membahas perihal makan siang itu lagi.
"Maaf juga karena Karen sudah tidak pulang beberapa malam ini," lanjut Karen yang kali ini membuat mata Bagas terlihat berkaca-kaca.
Dikarenakan tidak mendapat respon apa pun dari Bagas, Karen memilih untuk beralih dulu pada Nadine yang ternyata langsung memeluk tubuhnya. "Maafkan Karen ya, Ma. Karen janji untuk tidak akan mengulanginya lagi," ucapnya yang membuat Nadine mengiakannya dengan anggukan.
Saat melihat kedua perempuan yang sangat dicintainya itu sama-sama menangis sambil berpelukan, "Karen." Bagas memanggil sang putri bungsu.
"Iya, Pa?" sahut Karen seraya melepas pelukannya.
"Jika saja Papa tidak merestui hubungan kamu dengan dia, apa yang kamu lakukan?"
Karen sontak membulatkan matanya dengan sempurna. "Kenapa Papa tanya soal ini pada Karen?" tanyanya dengan perasaan yang campur aduk. Bagaimanapun juga, kalimat pengandaian yang dilontarkan Bagas telah berhasil membuat Karen berpikir bahwa itu adalah hal yang akan benar-benar terjadi.
"Papa hanya bertanya padamu, Sayang."
Masih dengan tatapan penuh curiga, Karen menjawab pertanyaan itu sesuai dengan janji yang diucapkan oleh sang kekasih sekaligus tunangannya itu. "Kata Mas Iyo, jika hubungan ini tidak direstui, maka kita berdua harus sama-sama berusaha untuk mendapatkannya, Pa."
Melihat Bagas mengangguk sambil tersenyum, Karen jadi berharap bahwa itu adalah pertanda yang baik untuk hubungannya.
Berbeda dengan Nadine yang sangat mengerti makna senyum itu, dia lantas memajukan tubuhnya dan menyentuh bahu Karen yang masih bersimpuh tersebut. "Kamu tahu apa yang membuat Papa bertanya seperti itu?" tanyanya yang membuat Karen menggeleng samar.
"Perlu kamu ketahui bahwa sejujurnya, baik Papa maupun Mama melihat kalau kamu tidak seserius itu berhubungan dengan Alexio, Karen."
"Karen serius dengan Mas Iyo kok, Ma!"
Ketiga kakak Karen kompak menggelengkan kepalanya.
Nadine yang sepakat dengan hal itu lantas berkata, "Kalau kamu benar-benar serius dengannya, maka kamu tidak akan pernah takut mengatakannya pada kami."
Nadine kemudian menjelaskan bahwa keseriusan dalam sebuah hubungan itu ditandai dengan keberanian para pelakunya untuk meminta restu kedua orangtua dari masing-masing pihak.
"Jadi, hampir bisa Mama pastikan bahwa hubungan kalian hanya didasari rasa saling suka dan juga nyaman. Bukan rasa sayang dan juga cinta yang bertanggung jawab," tandas Nadine yang diangguk oleh semuanya dengan kompak.
Mendengar hal itu, Karen menundukkan kepalanya. Meresapi setiap kata yang diucapkan sang mama hingga sebuah pertanyaan pun muncul di dalam benaknnya. Kalau yang dikatakan Mama benar, lalu apa yang harus aku lakukan? Dan mungkinkah hati ini masih miliknya?
Silakan dikomentari dan divote jika kalian suka dengan semua karakter di sini💞💜😚😚
.
.
.
Kak Rurs with💎
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Davendra✔ (Completed)
Fiksi UmumSeri ketiga dari The Trisdiantoro's Love Story "Kalau matahari saja bukan satu-satunya bintang di alam, seharusnya kamu juga bukan satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh hati." Davendra Nadithya Trisdiantoro terus saja mengingkari perasaannya...