Setelah urusannya di DE selesai, Karen bergegas melajukan mobilnya menuju bandara. Dikarenakan Alexio belum datang, perempuan berparas cantik itu memutuskan untuk menunggu kekasihnya di sebuah coffee shop bermerek lokal.
Usai memesan secangkir cokelat panas, Karen lantas memilih untuk duduk di kursi yang berada di pojok ruangan. Tidak sampai tiga menit, seorang barista terlihat menghampiri Karen lalu menyapanya dengan sangat ramah. "Selamat pagi, Mbak Karenina."
"Selamat pagi juga," balas Karen pada pria yang mengenalkan diri bernama Gio.
Mendapati hal tersebut, pria yang baru berusia 22 tahun itu tersenyum sembari meletakkan pesanan sang model tepat di tengah meja.
Setelah mengucapkan terima kasih, Karen lalu menyeruput minuman favoritnya itu. Seiring dengan tegukan yang semakin membasahi sekaligus menghangatkan tenggorokan, ingatan Karen akan percakapan bersama ketiga kakaknya pun menyeruak ke permukaan benaknya.
"Kar, kamu tidak ingin punya anak sendiri?" tanya Levin pada sang adik yang sedang membolak-balikan sebuah majalah.
"Karen masih mau mengejar karier, Mas," jawab Karen yang membuat ketiga kakaknya menghela napas.
"Mau mengejar sampai mana sih, Princess?" tanya Kevin yang diangguk oleh Levin.
Belum sempat Karen menjawabnya, "Kamu bertiga punya beberapa kandidat potensial loh, Kar. Kamu tidak mau mengenal salah satunya?" Kini giliran Alvin yang angkat suara.
"Seingat Karen, tugas para kesatria di kerajaan GasDine itu melindungi Papa, Mama dan Princess Karen, deh. Kenapa jadi jadi mengurusi jodoh Princess begini?" Karen pun menekuk wajahnya.
"Justru salah satu cara untuk melindungi kalian itu, ya dengan menyeleksi siapa pria yang akan mendampingi kamu, Kar. Sekarang Mas tanya, bagaimana jadinya, jika ternyata pria yang jadi suami kamju itu pria penumpang hidup yang gila harta? Jangan-jangan nanti Papa dan Mama dibunuh terus kamu diceraikan begitu saja. Kamu mau?" Karen dibuat bergidik ngeri dengan ucapan Levin.
"Kalau kami boleh tahu, sebenarnya kamu sudah punya pilihan hati belum, sih, Kar?" tanya Kevin guna menghentikan pemikiran Levin yang kadang suka berlebihan.
"Pilihan hati?" Ketiganya pun mengangguk bersamaan.
"Sebenarnya ... ada, sih," jawab Karen penuh keragu-raguan.
"Kenapa tidak dikenalkan dengan kami semua?" tanya Levin dengan cepat.
"Nanti ditolak lagi sama kalian, bagaimana?" Karen tertunduk lesu.
"Selama prianya oke, kami tidak mungkin menolaknya, kok." Levin pun mendapat anggukan dari kedua saudaranya.
"Oke menurut standar kalian, kan?" Belum sempat dijawab, "Sudah ah, Karen mau telepon Mbak Dian dulu. Pembicaraan soal calon dan pilihan hatinya kapan-kapan saja," ucap Karen yang kemudian beranjak menuju kamarnya.
Begitu pintunya sudah tertutup rapat, Karen segera menelepon seseorang yang saat ini sedang berada di pulau yang berbeda dengannya. Bukan Mbak Dian, melainkan pria yang secara diam-diam telah menjalin hubungan dengannya.
Saat Karen tengah asyik mengenang serta berpikir, tiba-tiba saja alunan nada terdengar dari ponselnya. Dengan gerakan cepat, dia pun mengambil benda pipih berwarna hitam itu di dalam tas tangannya.
Begitu mengetahui siapa gerangan yang menghubunginya, Karen langsung menjawabnya dengan mengucapkan salam. "Mas Iyo ada di mana sekarang?" tanyanya kemudian dengan penuh semangat.
"Oh, kalau begitu Karen ke sana, ya?" Usai mengatakan itu, Karen mengangguk dan memutuskan sambungan telepon. Dikarenakan terdidik untuk selalu menghabiskan apa yang sudah dibelinya, maka dengan gerakan cepat, gadis itu meminum cokelat panas yang masih tersisa di cangkirnya hingga tandas.
"Terima kasih atas kunjungannya, Mbak Karen!" seru Gio yang diikuti oleh semua barista yang bertugas bersamanya.
"Sama-sama!" tanggap Karen yang kemudian berjalan secepat yang dia bisa.
Tepat di saat netranya menangkap keberadaan Alexio, Karen pun berlari dan langsung memeluk tubuh pria berwajah manis tersebut. "Karen kangen banget sama Mas Iyo!" serunya seraya mengeratkan pelukan.
"Mas juga kangen banget sama kamu, Sayang" balasnya yang kemudian mencium puncak kepala kekasih yang sebenarnya sudah dilamarnya sebulan yang lalu itu. Walaupun belum dilakukan di depan orangtua masing-masing, hal yang terpenting bagi Alex adalah Karen sudah mengiakannya.
Seraya melonggarkan pelukan secara perlahan, Alex mempertanyakan jadwal Karen di hari ini.
Karen pun tersenyum lebar, "Khusus untuk hari ini, semua waktunya Karen menjadi miliknya Mas Iyo." Jawaban tersebut membuat Alex terkekeh senang.
"Berarti khusus di hari ini, kamu akan menjadi perempuan yang paling sibuk dong, Sayang," ucap Alex yang kemudian meminta Karen untuk menemaninya bertemu dengan sejumlah orang.
"Baru saja balik dari perjalanan bisnis, Mas Iyo sudah harus bertemu dengan si A, si B dan si C lagi?" tanya Karen dengan dahi yang berkerut dan juga pipi yang sengaja dia gembungkan.
"Memangnya Levin dan Alvin tidak begitu, hmm?" Alex bertanya balik pada Karen yang jadi teringat dengan lamunannya saat dia sedang menunggu tadi.
"Ya, begitu juga, sih," jawab Karen yang kemudian mengajak Alex untuk bergegas menuju ke tempat di mana mobilnya berada.
Berjalan sambil bergandengan tangan, "Di akhir pekan ini, Mas Iyo jadi ke rumah Karen, kan?" Melihat Alex mengangguk, "Kalau seandainya Mas Levin, Mas Kevin dan Mas Alvin ngga suka sama Mas bagaimana?" Karen pun mengutarakan kegelisahan yang dirasakannya selama ini.
"Ya, akan Mas buat mereka suka," jawab Alex yang bersamaan dengan sampainya mereka di tempat tujuan.
"Mereka punya standar yang tinggi loh, Mas," ucap Karen seraya masuk dan mendudukan diri di kursi penumpang.
Sembari memasang sabuk pengaman, "Kamu tahu kan bibit, bebet dan bobotnya Mas?" Karen mengangguk dengan cepat. "Kalau begitu, percayalah bahwa hubungan kita akan mendapat restu dari semuanya," lanjutnya dengan penuh keyakinan.
Usai mengiakan ucapan sang kekasih, Karen meminta izin paea Alex soal tawaran yang diajukan Nicholas tadi.
Alih-alih memberikan atau menolaknya, Alex justru melontarkan dua pertanyaan tanpa jeda pada Karen. "Kalian ketemuan di mana? Kok, kamu bisa bertemu dengannya?"
Menggigit pipi dalam, Karen yang tidak bisa berbohong, akhirnya menjelaskan semuanya dari awal. Menjelaskan perihal pertemuannya dengan Dave di hari Minggu berikut dengan jaket yang dipinjamkan padanya itu. "Kenapa harus kamu yang mengantarnya?" tanya Alex dengan cepat. Dari tatapannya, Karen tahu jika kekasihnya itu sedang cemburu.
"Karena letaknya DE itu searah dengan Bandara, Mas."
"Yakin, alasan kamu hanya karena itu?" Karen mengiakannya dengan anggukan. "Bukan karena ka--"
"Karen hanya mengembalikan jaketnya saja kok, Mas Iyo," potong Karen dengan cepat. "Lagi pula, seperti yang sama-sama kita tahu, Karen dan Kak Dave itu kan musuhan sejak kecil." Karen berupaya menyakinkan Alex melalui sorot matanya.
Tidak bisa dipumgkiri bahwa setiap kali mendapati Karen berinteraksi dengan Davendra, maka Alex akan merasa curiga, tidak tenang dan juga panas akibat cemburu.
Setelah cukup lama Alex terdiam, akhirnya dia menghela napas. "Dikarenakan Mas sangat percaya sama kamu, maka Mas izinkan kamu untuk mengambil tawaran itu," putusnya seraya menunjukan seulas senyum di bibirnya.
Tanpa aba-aba, Karen mengecup pipi kiri Alex dengan cepat. "Itu bukti cinta dan sayangnya Karen untuk Mas Iyo!" serunya sebelum Alex menghujani telingannya dengan kalimat bernada protes atas tindakan spontannya itu.
"Setelah kita menikah, bukti cintamu harus naik level, ya, Sayang!"
"Hahahahaha... Oh, tentu saja, Mas Iyoku Sayang!" balas Karen di sela-sela tawanya.
Selamat membaca dan jangan lupa berikan komentar-komentarnya ya!💞💕
.
.
.
Kak Rurs with💎
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Davendra✔ (Completed)
Ficción GeneralSeri ketiga dari The Trisdiantoro's Love Story "Kalau matahari saja bukan satu-satunya bintang di alam, seharusnya kamu juga bukan satu-satunya perempuan yang membuatku jatuh hati." Davendra Nadithya Trisdiantoro terus saja mengingkari perasaannya...