15. Sadness

334 55 52
                                    

Jennie masih menatap rumah bergaya klasik itu, sang pemilik rumah masih berdiam di kamarnya bahkan ia tak mau menengok Jennie dari jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jennie masih menatap rumah bergaya klasik itu, sang pemilik rumah masih berdiam di kamarnya bahkan ia tak mau menengok Jennie dari jendela. Gadis itu menunduk merasakan nyeri dalam dadanya. Ah. Tak pernah sesakit ini rasanya. Ia baru saja kehilangan hartanya yang paling berharga —Kim Jinunya—.

Klakson taksi memekik, membuyarkan lamunan singkat Jennie. Supir taksi sudah stand by di sana sejak setengah jam yang lalu. Barang-barang Jennie pun juga sudah dimasukkan di bagasi.

"Sampai kapan nona akan berdiri di sana? cepatlah masuk," pinta lelaki separuh baya itu. Jennie hanya mengangguk sembari mengusap air matanya. Entah mengapa cairan-cairan itu tak mau berhenti mengalir seolah bocor.

Di sisi lain, Jinu ternyata menyibakkan sedikit gorden kamarnya dan meratapi kepergian Jennie. Ia mungkin sedikit lain, karna menangis bukanlah hal yang disukainya. Kali ini ia benar-benar bersedih karna kecewa dengan sikap Jennie. Mengapa Jennie diam-diam menjalin hubungan dengan pria lain? Sebatas itu saja pemikiran Jinu. Setelah bayang-bayang taksi itu menghilang, Jinu kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Pria itu menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih sembari melepaskan angan.

"Mengapa aku bisa menyukai Kattie bodoh itu?" tanyanya pada sang inner. Bayangan dirinya seolah tertawa saat ini. Jinu menggelengkan kepalanya, pria itu bangkit dan bergegas menuju galeri kecil miliknya. Ia terdiam di depan pintu galeri itu, "Apa yang kulakukan, kenapa aku ke sini?"

Pria itu kemudian berjalan masuk, ia tidak sedang berada di mood yang baik saat ini. Kanvas-kanvas kosong itu seolah menunggu sang 'tuan' menggoresnya, namun Jinu —si tuan— tak mau melakukannya. Pria itu menatap lukisan yang ia letakkan di sudut. Lukisan cantik itu sama dengan apa yang tergores di atasnya. Jennie Kim. Wajah cantik gadis itu terukir begitu sempurna di atas kanvas, dengan rambut ikal kecoklatan yang nampak memesona. Sudut bibir Jinu terangkat, pria itu tersenyum namun nampak sedih juga. Pertahanannya tumbang ketika mengingat lagi wajah Jennie Kim, wajah cantik yang terakhir ia lihat berlinang air mata. Jinu menutup matanya dengan sebelah tangan, "Mengapa kita harus bertemu?" Sesalnya.

Sesaat kemudian pria itu mencoba bangkit dan meninggalkan galeri kecilnya. Ia menuju ke arah dapur, mengacak krat yang ia letakkan di bawah meja dan mencari botol soju yang masih berisi. Satu botol saja, agak kecewa juga dengan yang ia temukan.

Glek-glek!

Ia meneguknya sampai puas, bahkan hanya menyisakan separuh saja.

Plak!

"Uhuukk." Pria itu terbatuk. Si tersangka kini duduk di depan Jinu, sambil menatapnya tajam. Ia mengunci pandangan Jinu, hingga membuat sang adik seolah lemah di hadapannya.

"Kau lihat 'kan, kau puas sekarang?"

Masih saja Jinu mencoba menabuh genderang perang. Pria di depannya menghembuskan napas pelan, setelahnya ia memajukan tangannya dan memukul kepala Jinu.

Lovely Stranger [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang