05.Halte

450 203 568
                                    

~Happy Reading~
.
.
.

>>

Setelah mengantarkan Sani, Bara tidak langsung ke rumahnya. Namun, singgah terlebih dulu ke suatu tempat.

"Sekarang gue udah menemukan perempuan itu," ucapnya sembari bersimpuh di depan sebuah pusara. Dengan lemah, tangannya menaburkan bunga melati dan menyiramnya dengan air yang dibelinya tadi.

"Kenapa lo jadi seperti ini? Kenapa? Kenapa perempuan itu menghancurkan hidup lo? Kenapa, hah?" tanya Bara dengan orang yang ada di dalam sana. Tangan satunya digunakan untuk meremas gundukan tanah yang di depannya itu.

Hari mulai gelap. Segelap keadaan hati Bara. Awan mendung sudah menghalangi datangnya sinar matahari yang ingin memberikan harapan untuk manusia di bumi. Seperti hidupnya yang sudah hilang harapan setelah dia meninggalkannya.

Tetes air mulai terasa di kulit tangannya yang tidak terlapisi sehelai benang pun.

"Maaf, gue harus pulang sekarang, doakan saja semoga gue bisa membalasnya," ucapnya lalu mengangkat tubuhnya untuk berdiri. "Langit mengapa kau menertawai ku?" tanyanya tidak masuk akal dengan pandangan ke atas menatap betapa gelapnya langit. Kemudian, menunduk ke bawah lagi memandang makam yang basah karenanya.

Detik berikutnya, Bara melangkah pergi dan sesekali menoleh ke belakang. Memastikan akankah orang yang di bawah sana akan hidup kembali?

Dari kejauhan ada seseorang yang sedari tadi mengamati gerak-geriknya. "Suatu saat lo akan tau," ucapnya lalu meninggalkan tempat itu karena orang yang sedang diamati sudah pergi.

**

Pagi sudah mulai menyapa. Sinar matahari mulai menerobos lewat tirai jendela. Mengusik orang yang masih setia dalam alam mimpinya.

Huaammm

Orang tersebut menguap kemudian merentangkan otot-otot tangannya. Diambilnya jam di atas nakas lalu dibawa ke depan pandangannya. Matanya yang masih setengah tertutup tidak jelas melihat angka yang terpampang di jam tersebut.

"Jam berapa, sih?" gumamnya sambil mengucek-ngucek matanya lalu melihat lagi jam yang masih digenggamnya.

"HAH?" teriaknya setelah melihat angka yang ditunjuk oleh jarum panjang milik jam tersebut. 06.15

"Bagaimana ini? Padahal belum siap-siap terus perjalanan ke sekolah lima belas menit dan apel jam 6.45. Punya waktu lima belas menit artinya," ucapnya sambil melihat di pergelangan tangannya seolah-olah ada jam yang melekat. Karena menyadari masih diam berdiri, dirinya langsung lari ke kamar mandi melakukan ritualnya setiap pagi, tapi kali ini bukan ritual namanya. Baru saja masuk lima menit, udah keluar aja. Apa-apaan itu?

Setelah mengenakan seragam dengan kecepatan super hero, gadis itu langsung turun ke bawah melewati ruang makan, tapi sebelum melangkah gadis itu tengok kiri dan kanan. Memastikan tidak ada pembunuh yang sedang mengintainya. Ralat. Kakaknya yang akan memberikan....

"Jam berapa ini?" tanya seseorang dari balik punggungnya yang membuat jantung sang gadis berpacu lebih cepat. "Bisa ngga, sih lo ngga mancing gue buat marah hah!!" ucapnya yang membuat gadis itu berbalik badan.

Plakk

Satu tamparan mengenai pipi mulus gadis itu membuatnya merasa perih. "Tahan, San," ucapnya di dalam hati walaupun tangannya sudah gatal. "Lo harus bisa! Kalau ingin hubungan lo dan Alfa membaik," semangatnya pada dirinya sendiri. Karena dalam lubuk hatinya ia ingin sekali berbaikan. Menjalin kasih sayang layaknya adik kakak pada umumnya, tapi apakah mungkin?

"Cepet berangkat! Nanti sepulang sekolah ngga usah mampir-mampir. Langsung balik kerjain seperti biasa!" ucapnya dengan emosi.

"I-iya, Kak," lirihnya kemudian tangannya diangkat untuk bersalaman. Namun, sang pemiliknya langsung pergi menaiki tangga. Sakit!

**

Gadis itu masih duduk di halte menunggu kendaraan yang mau menampungnya. Setelah melirik ke arah jam yang tertempel di pergelangan tangannya, gadis itu menghembuskan napasnya berat. Matanya melihat ke arah barat berharap ada kendaraan yang masih lewat.

Pikirannya tidak sengaja melayang mengingat kejadian tadi. Mengapa takdir hidupnya seperti ini? Apa salah dirinya sehingga membuat kakaknya sebegitu bencinya? Karena seingatnya tidak pernah berbuat kesalahan sekalipun lalu kenapa?

Karena tenggelam dalam pikirannya, gadis itu tidak mengetahui ada motor yang baru saja berhenti di depan halte.

"San?" tanya seseorang dengan tangannya digerakkan di depan muka sang gadis.

"Eh." Gadis yang tak lain adalah Sani kaget lalu melihat siapa seseorang itu. Ngapain dia?

"Lo lagi nunggu kendaraan?" tanya Bara karena Sani tak kunjung buka suara. Malahan kembali ngelamun seperti saat dirinya baru datang. Ngelamunin apa coba?  Namun, Sani tak kunjung menjawab juga. Tiba-tiba terbesit ide dikepalanya.

"Aww," pekik Sani saat merasa ada yang mencubit pinggangnya lalu melihat seseorang yang sedang menahan ketawa. Terlihat dari pundaknya yang naik turun. "Apaansih, lo?"

"Ya lo juga diajak bicara malahan ngelamun mulu," ucapnya. "Tuh, 'kan," tambahnya lagi karena Sani ngelamun lagi.

"Cepet deh naik nanti keburu masuk," ucapnya sembari menarik tangannya naik ke jok belakang, tapi saat Sani menaiki joknya, Bara melihat sesuatu.

"Pipi lo kenapa?" tanyanya sambil memegang pipinya karena terlihat merah seperti ... ditampar? Ya, ditampar sepertinya.

"Apaansih ini blushing," ucapnya ngasal yang membuat sang penanya terkikik.

"Blushing ko ngomong-ngomong, sih aneh lo," ucapnya canda sambil mencoel pipinya walaupun didalam hati bertanya-tanya.

"Apaansih sakit tau," ucapnya sambil memegangi pipinya. Moodnya sudah membaik pikirnya.

"Eh, Ra lo asik juga yah padahal kesan pertama gue ngeliat lo, lo itu dingin, irit bicara jutek terus ... ya, itulah pokoknya," ucapnya sambil jari-jarinya ditekuk seperti sedang menghitung utang. Bara yang melihat lewat kaca spionnya, hanya memperhatikan perempuan itu. Ya, perempuan itu yang dibencinya sekarang sedang duduk di jok motornya.

"Kayanya ketularan kebegoan lo, deh," ucapnya yang membuat Sani memukul punggungnya.

"Eh iya waktu malam itu gue belum sempat terima kasih. Makasih yah, Ra," ucapnya lagi dengan tulus.

"Iya sans aja. Oh iya cowo itu siapa? Kayanya mau nyelakain lo?" tanyanya setelah mengingat-ingat kejadian malam itu.

"Cowo itu ... eh, Ra ini jam berapa? Sebentar lagi apel pembinanya pak kepsek lagi duh mati ini kita," ucapnya sambil bergidik mengingat gimana tegasnya pak kepsek pada murid yang terlambat. Tidak lelaki ataupun perempuan. Semua sama saja.

"Yaudah, yuk," ucapnya lalu menancap gas dengan kecepatan tinggi dan membuat Sani memekik dan memeluk dirinya.

Semoga kau adalah titipan Tuhan yang telah digariskan untuk menjadi bintangku, dan membuat hariku penuh dengan cahaya.

>>

Semoga makin suka yak :)

Tbc



#31Maret2020

Sekali SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang