42.Perasaan Cinta

111 23 409
                                    

Happy reading
***

Sani yang mendengar teriakan Bara sontak menatap ke samping. Seketika matanya melotot melihat sebuah mobil mengarah padanya. Karena takut, Sani segera menutup mata.

Beberapa detik Sani masih menutup matanya. Tadi dirinya merasakan ada yang mendorong, tapi dirinya terlalu takut untuk sekadar melongok sedikit. Bisa saja sekarang sudah ada di alam lain. Itulah yang ia takutkan saat ini.

Bara yang tengah mendekap Sani, menatap sekilas mobil yang akan menabraknya tadi. Untung saja dirinya bisa menyelamatkan tepat pada waktunya. “Bangsat!” umpatnya setelah melihat plat mobil yang tidak asing baginya.

“Buka matanya,” titah Bara mengalihkan pandangan ke Sani yang masih dalam pelukannya. Sekarang yang lebih penting adalah gadisnya. Lihat saja nanti, orang itu akan tahu sendiri akibatnya.

“Nggak mau,” sahut Sani sambil terus mengeratkan pelukannya.

“Buka matanya.”

Sani menggelengkan kepala dalam dekapan Bara ketika kata-kata itu memenuhi otaknya. Memori masa lalunya kembali datang dalam pikirannya.

“Sayang, buka matanya,” titah Bara lagi. Entah sadar atau tidak dirinya memanggil 'sayang' pada Sani. Kata itu keluar begitu saja dari bibirnya.

“Sayang, buka matanya.”

Seketika tangis Sani pecah membuat Bara bingung. Sebenarnya apa yang dirasakan gadisnya saat ini? Apakah terlalu takut akan kejadian tadi? “Sayang...,” panggilnya lagi.

“Sayang....”

Tangisnya semakin deras ketika kejadian ibunya meninggalkan untuk selamanya kembali hadir di ingatan. Ayahnya dulu yang mencoba menenangkan Sani kecil. Dalam dekapan hangat itu, dirinya terus menangis tidak percaya. Tangisnya semakin deras ketika ayahnya memanggil 'sayang' persis seperti Bara kali ini.

Bara yang semakin bingung mencoba menenangkan dengan mengelus lembut punggungnya. Biarlah baju seragamnya basah akan air mata gadis itu. Dirinya ingin menjadi obat untuk luka yang tengah Sani rasakan. Pengobat segala duka lara kekasihnya itu.

Jangan salahkan ketika sekarang ini ia mengakui bahwa dirinya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya. Rasa yang hadir begitu saja dan sempat tak dipercaya ternyata nyata.

Bagaikan di padang pasir, cinta seperti pelepas dahaga. Ibaratkan di tengah hutan, kau hadir membentuk dedaunan yang siap untuk memberi cahaya kehidupan. Layaknya sebuah lautan luas, kau adalah angin yang membuat perahu kita berlayar menghadapi desiran ombak ganas.

Rasa timbul bukan hanya sebab terbiasa, tapi juga karena keselerasan antara lain yang nantinya akan menghadirkan sebuah komitmen untuk saling menjaga. Lahirnya rasa pun tidak hanya tentang dia yang sudah lama bersama kita, melainkan siapa yang paling membuat nyaman hingga ketika terpisah, rindu akan datang mendera.

Berbicara soal takdir, kita memang tidak ada yang tahu-menahu. Kita tidak tahu sampai kapan semesta memihak kita. Akan tetapi, kali ini Bara tengah membahas tentang rasa. Rasa yang datang begitu saja tanpa terlebih dulu menyapa. Rasa yang tidak pernah disangka, karena kesalahpahaman itu yang tak berdosa.

Mungkin ini juga termasuk rencana Tuhan. Rencana yang mempertemukan keduanya agar bisa saling berbagi rasa. Suka ataupun duka. Jika boleh minta, Bara ingin ini bukan hanya rencana. Dirinya berharap ini adalah suratan takdir yang akan selamanya begini—berdua bersamanya.

Sekali SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang