09.Rasamu Rasaku

318 155 490
                                    

~Happy reading~
.
.
.

>>

"Cepet naik," perintah Bara membuat Sani langsung menaiki jok belakangnya.

"MAU DIMANA?" tanya Sani sedikit keras melawan bisingnya kendaraan.

"TUNGGU AJA!" teriak Bara dan diangguki olehnya.

Setelah 20 menit melawan macetnya perjalanan akhirnya sampai juga. Sani yang melihat rumah bertingkat menjulang tinggi nan megah dihadapannya melihat dengan tatapan memuja.

"Yuk masuk."

"Ini rumah siapa? Besar banget yah," tukas Sani dengan pandangan yang masih sama. Bukan karena rumahnya tidak sebesar rumah Bara. Mungkin rumahnya juga sebelas dua belas dengan rumah Bara. Namun, karena keadaan orang di dalam rumahnya yang mengakibatkannya jika di rumahnya terasa sempit dan tidak ada spesialnya pun.

"Gue."

Krett

Bunyi decitan pintu terdengar saat Bara mendorong pintu rumahnya. Sesaat, terlihatlah ruang tamu yang terbilang cukup besar dengan nuansa biru laut dan abu-abu. Memberikan kesan tersendiri bagi Sani.

Kemudian, Sani melangkahkan kakinya masuk menuju ruangan yang besar itu. Matanya tidak lepas dari pemandangan yang menggiurkan. Banyak ukiran-ukiran dan hiasan yang sangat bagus. Harganya juga pasti mahal pikirnya.

Kakinya melangkahkan ke samping menuju pemandangan indah lainnya. Berjejer foto-foto anak kecil yang menurutnya itu adalah foto Bara. Bibirnya melengkung ke atas saat melihat foto Bara kecil yang sedang bertelanjang dada. Wajahnya imut berbeda dengan sekarang.

Saat matanya melihat ke foto selanjutnya, ada kejanggalan di dalam hatinya. Seperti pernah melihat orang tersebut, tapi kapan dan di mana? Terlihat di foto itu seorang anak kecil tengah bergandengan dengan Bara dan senyum yang menghiasi bibir keduanya. Ia yakin itu adalah kakaknya, tapi mengapa wajahnya tidak asing baginya?

"Udah liatnya?" tanya Bara yang berdiri di belakangnya dengan seragam yang sudah tergantikan dengan pakaian santainya.

Merasa tengah dipergoki oleh pemilik rumah, Sani langsung membalikkan tubuhnya dengan senyum yang menghiasi bibirnya. "Hhe udah ko."

"Cepetan gue ngga punya banyak waktu," perintahnya dengan melangkahkan kakinya menuju sofa empuk yang berada di depan matanya. "Duduk," perintahnya lagi karena Sani tidak kunjung duduk juga.

"Nunggu disuruh," ucapnya sambil mendaratkan pantatnya di sofa empuk itu.

"Mau ganti dulu? Bau keringet," tanya Bara dengan menekan hidungnya.

"Apasih wangi, yah," sergahnya. "Lo nyimpen baju cewe?" tanyanya dengan menunjuknya seperti tengah mengintimidasi.

"Punya kekasih gue dulu," elaknya dengan raut wajah langsung berubah. Nah, langsung dibuat dingin seperti sedia kala.

Sani yang melihatnya merasa bersalah terlihat dari raut wajahnya yang langsung berubah. Walaupun langsung ditutupi olehnya. Sani juga bingung mengapa dirinya seperti bisa membaca hatinya? Huh entahlah.

"Sorry," ucapnya.

Saat teringat kejadian di taman tadi, antara bimbang ingin menanyakan atau tidak. "Ehm, Ra boleh tanya?"

"Hm."

"Soal di taman lo ngga ada maksud apa-apa, 'kan? Atau lo ada masalah dengan ...." Belum selesai ucapannya, manik matanya melihat sorot mata Bara berubah.

"Argghh," raung Bara frustasi dengan tangannya mengacak-acak rambutnya kasar. Kemudian, berdiri mendekati Sani yang langsung menunduk saat melihatnya.

Sekali SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang