Zina, berawal dari pacaran.
***
---
Gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. Tak lupa kerudung putih yang sudah terpasang cantik menutupi mahkotanya. Seulas senyum tipis pun terbit di muka manisnya.
Sesudahnya, ia mengambil tas ransel berwarna biru langit yang tergeletak di meja belajarnya. Gadis itu mulai melangkahkan kakinya keluar dari kamar tidurnya.
Dengan langkah pelan ia menuruni anak tangga yang ada di rumahnya. Matanya menyipit begitu melihat pemandangan yang ada di meja makan.
Tumben, batinnya.
"Fi, sini sarapan dulu," ajak wanita paruh baya yang tetap cantik sembari menyiapkan makanan di meja makan.
Gadis yang dipanggil 'Fi' itu beranjak ke meja makan. Meletakkan tas nya ke kursi kosong yang ada di sampingnya.
"Tumben Abi ikut sarapan?" celetuk Fi membuat Sang Abi yang tengah makan menghentikan aksi mengunyahnya.
Sedangkan Fi sendiri tak peduli. Ia tetap makan nasi goreng buatan umi tanpa memerhatikan perubahan ekspresi abinya.
"Fi, kok ngomongnya gitu?" sahut Uminya yang bernama Isma dengan lembut sembari mendekat dan mengusap kepala anaknya.
Fi hanya menghela napas. Tak menjawab lagi ucapan Sang Umi. Ia sedang malas berdebat kali ini.
"Fi, kerudungnya jangan diangkat ke pundak, ya, Nak. Ulurkan saja menutupi dada sampai perut. Kan lebih cantik." Isma membenahkan kerudung yang dipakai Sang Anak.
Fi yang merasa kegiatan makannya terganggu pun berdecak. "Umi, Fi lagi makan. Nanti Fi benerin, kok."
Fadli--Abi Fi--yang melihat anaknya itu berdecak kepada Isma, langsung menegur. "Nggak boleh berdecak sama orang tua, apalagi sama Umi. Yang sopan, Fi, kamu udah besar. Harus tau mana yang baik, mana yang enggak."
Fi mengerutkan kening tak suka. Pagi harinya sudah diusik. Tapi, Fi memilih diam tak menanggapi ucapan abinya. Lagi-lagi, alasannya ia malas berdebat.
"Abi lagi ngomong sama kamu, Fi."
Fi menghela napas kasar. "Abi, Fi mau makan. Fi lagi nggak mau adu mulut sama Abi."
"Abi enggak ngajak kamu berantem, Fi. Abi ngasih tau kamu. Semakin kesini, kamu semakin nggak sopan sama orang tua."
Gadis berkerudung putih itu meletakkan sendoknya dengan sedikit membanting. "Nggak sopan gimana, sih, Bi? Orang Fi aja jarang ngobrol sama Abi. Abi, 'kan jarang nemenin Fi."
Fadli mulai tersulut ucapan anak tunggalnya ini. "Abi kerja juga buat kamu, Fi. Buat kehidupan kamu. Buat keluarga ini."
"Ya tapi keterusan, sampai lupa aku juga pengin punya waktu bareng Abi. Tiap Abi ada, Abi justru nyalah-nyalahin Fi gini. Kalau gini, mending Abi kerja aja, deh!" hardik Fi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Istiqomah [END]
Spiritual"Ketika kamu merasakan kesulitan untuk istiqomah, ingatlah kelak kamu akan menemukan sebuah akhir yang indah." --- Lahir dari keluarga kaya memang menyenangkan. Sejak kecil bergelimang kemewahan. Selalu diselimuti kemanjaan. Apa yang diinginkan ting...