16. Lembar Baru

271 31 7
                                    

Hidup terus berlalu. Jangan selamanya terpaku pada masa lalu. Berani melangkah, dan membuka lembar baru itu perlu.

---

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Tepat tiga hari semenjak Fi diminta untuk tidak keluar rumah oleh Sang Abi. Hari-harinya sepi tidak berwarna. Hanya berdiam diri di rumah, membaca tumpukan novel, atau kadang membantu umi di dapur.

Hubungannya dengan Sang Abi masih renggang. Fi masih takut berhadapan dengan Fadli. Bayang-bayang Fadli yang membentaknya, dan tatapan tajam Fadli masih menghantuinya.

Fadli lebih sering pulang malam sekarang. Akhir-akhir ini, pria itu melewatkan makan malam bersama keluarga. Fi tidak tahu apa yang dilakukan sang Abi selain bekerja.

Fi mengkhawatirkan abinya. Apalagi, kesehatan Fadli. Fi pernah mendapati Fadli yang masih berkutat dengan berkas-berkas perusahaannya ketika sudah tengah malam. Pria itu jelas terlihat lelah, tapi tetap melakukan pekerjaannya dengan sungguh-sungguh.

Melihat itu, membuat Fi teriris. Selama ini, ia sering protes. Protes tentang Fadli yang jarang menghabiskan waktu di rumah. Protes tentang Fadli yang lebih mengutamakan pekerjaan dibanding keluarga.

Tapi, kini Fi sadar, itu semua juga untuknya. Kembali ke dirinya sendiri. Fadli tidak ingin hidup Fi kekurangan. Ia ingin memastikan kebutuhan anaknya tetap berjalan lancar.

Dan Fi malah menyalah gunakan itu semua. Dengan gampangnya ia memberikan uang pemberian Fadli kepada teman-teman Dareen yang kurang ajar itu.

Fi benar-benar merasa berdosa.

Segala pengorbanan kedua orang tuanya, justru ia balas dengan dosa. Ia balas dengan kekecewaan. Anak tidak tahu diri. Begitu pikir Fi tentang dirinya sendiri.

"Fi?"

Gadis itu tersentak. Ia menutup novelnya yang nyatanya tidak dibaca. Karena fokusnya justru buyar. Pikirannya berkelana. Bukannya menyelami bacaan itu, Fi malah memikirkan yang lain-lain.

"Fi, turun dulu, ya? Ditunggu abi di bawah."

"Loh? Masih jam setengah lima, Umi. Tumben abi udah pulang?" Fi bingung. Tak biasanya Fadli pulang jam segini.

Isma hanya tersenyum. "Ayo."

Fi mengangguk. Ia beranjak dari tempat tidurnya. Meletakkan novel bersampul hitam itu ke tempatnya, lalu mengikuti sang Umi untuk turun ke bawah.

Sebenarnya, Fi takut. Takut kalau seandainya Fadli marah lagi. Fi tidak siap mendengar bentakan abinya lagi.

Sampai di pijakan anak tangga paling akhir, langkah Fi terhenti sejenak. Ia mencoba menormalkan ritme jantungnya. Menyugesti otaknya untuk tidak berpikir negatif.

Ketika sudah lebih tenang, barulah Fi kembali berjalan. Lalu duduk di sebuah sofa yang panjang. Sedangkan Sang Abi duduk di sofa single.

Back to Istiqomah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang