33. Permintaan Maaf

224 29 0
                                    

Memaafkan dan berdamai pada masa lalu, adalah langkah awal untuk memulai lembaran baru tanpa bayang-bayang pilu.

***

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

---

Sudah seminggu sejak kepulangan Filia ke rumahnya. Kehidupannya kembali seperti semula. Beberapa kebiasaan pesantren masih melekat. Seringkali Fi melakukan. Seperti tadarus di sebelum dan sesudah subuh, lalu menyetor hafalan. Di rumah, Fi setor hafalan pada sang umi.

Tapi, ia rindu dengan pesantren. Ia rindu sarapan paginya bersama teman-temannya. Rindu kamar asramanya yang selalu penuh cerita di penghujung malam.

Padahal waktu pertama kali, Fi sangat tidak suka dan ingin pergi dengan segera. Tapi kini ia justru rindu dengan tempat itu.

"Fi, kok ngelamun?" tegur Isma saat tak sengaja lewat di depan kamar anaknya. Isma masuk dan mengusap bahu Fi.

"Fi kangen pesantren. Biasanya jam segini Fi lagi di aliyah, sambil kepikiran jemuran. Apalagi mendung gini," jawabnya dengan tapapan ke jendela yang menampilkan keadaan langit sedang bermuram.

Isma tersenyum tipis. Duduk di sebelah Fi, lalu merangkul anaknya. "Gimana di pesantren? Asik banget pasti sampai susah move on gini."

Fi terkekeh. "Iya, Umi. Asik banget. Temen-temen pada baik semua di sana. Ustadzah juga baik. Apalagi, ibu nyai ramah banget di sana. Kalo mau mandi pasti pada cepet-cepetan antri, terus sering juga keliru ambil sandal. Sebelum tidur, kami saling cerita dulu di kamar."

"Terus apa lagi? Umi juga mau tau dong di sana ngapain aja," timpal Isma.

"Nih ya, Umi, Fi kan pernah jemur baju kan. Nah terus sekolah kayak biasa. Waktu udah fokus sama sekolah, turun hujan, Umi. Fokusnya jadi terbagi. Fi jadi mikirin gimana jemuran Fi."

"Basah semua?" tanya Umi.

Fi mengangguk. "Iya, Umi, basah. Fi minta izin kan sama ustadzah, untung dibolehin. Buru-buru deh ngangkat jemuran. Fi peres dulu, paling nggak biar airnya nggak netes, terus diangin-anginin di kamar. Eh, malah ketiduran," ungkapnya panjang lebar.

Isma terkekeh. "Bisa aja kamu. Oh iya, sebentar lagi ada ujian mandiri masuk universitas, Fi. Udah siap, kan?"

"Siap banget, Umi. Fi bakal persiapin semuanya biar bisa kuliah di jurusan sastra inggris."

"Kamu udah kepikiran soal nikah belum, Fi? Selama di pondok, ada nggak cowok yang kamu taksir gitu?" tanya Isma jahil.

Wajah Fi memerah malu. "Apa, sih, Umi? Ng ... gak ada. Lagian kalau di pondok jarang banget bisa ketemu gitu. Paling ya cuma papasan aja, itupun pada nunduk pasti."

"Masa nggak ada? Gusnya gimana? Ganteng nggak? Sama abimu ganteng mana?"

"Ganteng Gusnya dong, eh?" Fi sontak menutup mulutnya karena tidak sengaja keceplosan.

Back to Istiqomah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang