28. Tidak Menyangka

214 29 2
                                    


Beberapa kejadian menyapa tanpa aba-aba. Sebagian besar, tidak pernah disangka-sangka. Itulah rahasia semesta.

***

---

"Kalian itu teman satu kamar, kenapa malah bertengkar?" tanya Safi selaku petugas keamanan yang menangani kasus kamar nomor delapan.

"Indira, kamu sebagai ketua kamar. Harusnya, kamu bisa bimbing temen-temen kamu supaya kejadian kayak gini tidak sampai ada," hardiknya pada Indira.

Mereka semua hanya diam. Atmosfir ruangan ini memang panas. Seolah ada aura menegangkan bahkan ketika hanya lewat dari depan saja. Lalu kali ini, mereka semua justru terlibat kasus dan jadi tersangka di dalamnya?

"Coba ceritakan, kenapa sampai ada gelas pecah terus teriak-teriak? Kalian di asrama, bukan di hutan."

Disa berdehem. "Maaf, awal masalah ini karena Filia," tunjuknya ke arah Fi yang sontak menegakkan tubuhnya dengan mata yang mendelik.

Fi ingin menyangkal, tapi ia tahu dirinya memang salah. Ia tidak bisa mengontrol emosinya hingga mengamuk di kamar tadi.

Tatapan Safi kini beralih menatap Fi intens. "Filia? Tidak ada penyangkalan? Kenapa sampai ngamuk dan pecah gelas kayak gitu?"

Fi gelisah. Mana mungkin ia ceritakan sejujurnya alasannya ngamuk karena Indira yang menyebarkan berita tentang foto aibnya? Tidak hanya Indira yang kena, Fi juga akan terseret karena dirinya sebagai tokoh utama.

"Filia Sarah Athifa," panggil Safi dengan nada tegas.

Fi menelan saliva susah payah. Biasanya, Safi adalah gadis manis yang ramah. Senyumnya lembut dan tuturnya pelan. Tapi, saat menjalankan tugasnya sebagai keamanan, gadis itu benar-benar berubah menjadi tegas.

Fi menarik napas dalam dan mengeluarkannya pelan. "Maaf ... saya tidak bisa menahan emosi. Soal gelas yang pecah, itu murni ketidak sengajaan saya waktu gebrak meja. Maaf."

"Lalu ke-"

"Jika bertanya soal alasan emosi, maaf itu privasi saya."

Safi menghela napas. Gadis berkerudung biru itu menggelengkan kepalanya pelan. "Tuliskan satu buku full yang isi kalimatnya 'saya tidak akan bertengkar lagi.' Lalu nanti sore, kalian diminta menghadap Ustadzah Nisa untuk lanjut setoran hafalan tiga surah."

Mereka semua mendelik, tapi tidak bisa protes apa-apa. Daripada hukuman semakin ditambah, lebih baik diam mengiyakan.

"Jangan lupa untuk melakukan hukuman kalian semua."

Mereka semua hanya bisa mengangguk pasrah mendengar ucapan dari Safi. Satu persatu keluar dari ruang sidang.

Indira masih diam ketika ia juga teman-temannya diminta keluar oleh kepala keamanan itu. Dalam benaknya masih terbesit tanya. Kenapa Fi menyalahkan aku? Bagaimana bisa menyebar?

Back to Istiqomah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang