Semua orang punya masa lalu. Semua orang punya masa pilu. Dan semua orang juga berhak memperbaiki itu.
Karena bahagia, adalah milik semua orang, bukan hanya golongan tertentu.***
---
Selama hidupnya, ia tidak pernah melewati peringatan berkurangnya satu tahun umurnya tanpa keluarga. Ya, bagi Fi, ulang tahun berarti masa hidupnya sudah berkurang tiap satu tahunnya.
Semua sudah ada jalan takdirnya. Manusia hanya perlu menunggu dan mempersiapkan diri sebagai bekal untuk di akhirat kelak. Bukan harta maupun tahta yang dibawa, melainkan amal saleh.
Itulah yang sering disampaikan kedua orang tuanya kepadanya.
Untuk ulang tahun kali ini, rasanya pasti berbeda. Biasanya, ia selalu makan nasi goreng rendang spesial buatan umi di hari ulang tahunnya. Tentu juga bersama kedua orang tua. Setelahnya, umi dan abi akan memberikan kecupan di dahinya.
Tahun ini tidak ada.
Mereka terjebak jarak yang begitu terasa.
Malam di asrama kali ini, Fi lalui dengan berkelana ke masa di mana semua masih baik-baik saja. Di masa Fi tidak terjebak dalam cinta semata.
Waktu itu, semua masih baik-baik saja. Hidupnya hanya mengenal tawa dan bahagia. Ia merasa cukup dengan bersama keluarga dan sahabatnya. Jauh sebelum sosok pemuda datang dan menghancurkan seluruh pertahanannya.
Fi menghela napas pelan. Ditatapnya teman-teman yang sudah pulas dalam bunga tidurnya. Mereka tampak damai dalam lelapnya.
Setelah bercanda gurau tadi, Fi masih tidak bisa memejamkan mata. Ia terus dibayangi bagaimana ulang tahunnya tepat di hari esok. Akankah penuh tawa? Atau justru berderai air mata saking rindunya?
Ah, bahkan sekarang saja Fi sudah rindu.
"Fi, kok belum tidur?"
Fi mengerjap dan mengusap matanya. Tak terasa buliran air mata sudah turun tanpa diminta. Fi sendiri tidak menyadari kalau saja Indira tidak menegurnya.
"Aku belum ngantuk," kilah Fi.
Indira bangun dari tidurnya. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju ranjang Fi dan mendudukkan tubuhnya di sana. Selanjutnya, tangan Indira terjatuh di kaki Fi. Mengusapnya pelan.
"Kenapa nangis? Kelihatan loh, kamu nggak bisa bohong," tegur Indira.
Fi menyingkirkan bantal dari pelukannya. Ia mendekat kepada Indira dan duduk bersila, meski belum menjawab sepatah kata.
"Jangan nangis, kalau matanya sembab pasti ditanya-tanya nanti. Aku juga nggak maksa cerita kalau kamu belum siap. Sebentar." Indira beranjak. Mengambil gelas kecil kosong yang ada di meja bersebalahan dengan ranjang Fi. Ia mengisi gelas itu dengan air putih yang ada di teko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Back to Istiqomah [END]
Spiritüel"Ketika kamu merasakan kesulitan untuk istiqomah, ingatlah kelak kamu akan menemukan sebuah akhir yang indah." --- Lahir dari keluarga kaya memang menyenangkan. Sejak kecil bergelimang kemewahan. Selalu diselimuti kemanjaan. Apa yang diinginkan ting...