6# Prophecy

10.2K 1K 115
                                    

Arsen kini hanya melamun ditengah pelajaran. Bahkan kedua teman Arsen sudah berkali-kali menyuruh Arsen agar fokus, namun Arsen tetap bebal. Sekolah Arsen menghendaki muridnya duduk satu-satu, jadi kalau Arsen melamun tidak bisa tertutupi oleh teman sebangkunya karena memang duduknya yang sendiri-sendiri. Hal ini karena Arsen masih memikirkan kejadian semalam.

Setelah menangis, Arsen dibuat semakin takut dengan ketiga abangnya yang mengerubunginya. Askar bahkan membentak Arsen dan menyuruhnya diam atas perintah Danthe yang mana malah membuat tangisan Arsen semakin keras. Theo yang menjadi pelaku pun sama saja, dia terus menatap Arsen sambil sesekali melirik Danthe dan Askar.

"Enaknya diapain ya ni bocah ?" Danthe berucap dengan raut serius pada Theo dan Askar.

"Bener bang, dari tadi nggak diem-diem." Askar menyahuti Danthe, yang juga dibalas anggukan oleh Theo. Arsen yang semakin tersudutkan berusaha mengurai tangisnya, ia yang sedari tadi menunduk pun mulai mengangkat kepalanya.

"Hiks Bunda ... " Ucap Arsen setelah melihat ketiga abangnya yang masih menatap tajam dirinya.

"Bener juga, kenapa nggak kita telepon Ayah aja." Theo berujar setelah mendengar Arsen memanggil bundanya. Danthe yang mendengar usul Theo dengan sigap langsung mengeluarkan ponselnya yang ada disaku celana. Lalu dengan secepat kilat Danthe mendial nomor ayah mereka.

Sebenarnya Danthe, Theo, dan Askar merasa bersalah pada Arsen. Mereka merasa telah membuat Arsen tertekan, yang mana hal itu memang benar dirasakan oleh Arsen. Apalagi setelah melihat wajah Arsen yang memerah dan dipenuhi air mata, membuat ketiganya semakin bingung dan merasa bersalah. Ya tetapi memang mereka tidak pandai mengekspresikan perasaan mereka, sehingga malah membuat Arsen semakin ketakutan.

S h i t B l i n g ! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang