20

428 50 7
                                    

Kelopak mata Cayna perlahan terbuka hingga ia bisa melihat semua yang ada di sekitarnya dengan sempurna. Pandangannya masih gelap. Ya, memang karena masih malam, atau sudah lewat tengah malam? Entah sudah berapa lama Cayna terlelap?

Ada yang aneh. Dia sendirian. Tidak ada yang lain, bahkan ia tidak melihat keberadaan Pallad di sekitarnya. Sebenarnya kemana pemuda itu pergi? Beberapa waktu Cayna memperhatikan sekitarnya. Ia berharap bisa menangkap sosok pemuda itu. Namun nihil.

Seketika tubuhnya mematung. Bukan karena dinginnya malam, melainkan karena dirinya sendiri. Ia teringat semua kejadian yang sudah lalu. Benar-benar! Ia sudah sangat keterlaluan kepada pemuda itu. Ia menekuk kedua lututnya dan memendam wajahnya di balik lutut. Jika bisa, ia mungkin sudah mengutuk dirinya sendiri sekarang.

Sebuah telapak tangan memegang puncak kepala Cayna dengan tiba-tiba. Sontak saja gadis itu menegang karena terkejut. Detak jantungnya pun seakan dapat terdengar di telinganya sendiri saking kencangnya. Takut! Takut sekali!

"Hei! Kau menegang lagi!"

Suara terdengar lirih di telinga Cayna. Ia tahu suara siapa itu. Perlahan, ia menenangkan dirinya dan mulai menegakkan pandangannya. Kini, ia bisa melihat wajah pemuda itu dengan jelas diantara cahaya bintang yang masuk ke pupil matanya.

"Kau masih disini?" tanya Cayna sangat lemah.

Pallad bisa melihat dengan jelas mata gadis di hadapannya itu berkaca-kaca. Ia pun tersenyum lebar dan sedikit tertawa seraya mengacak pelan rambut gadis itu. Pandangan Cayna mengikuti arah pemuda itu yang kini duduk tak jauh di sebelahnya.

"Memangnya aku mau kemana?"

"Ku kira kau meninggalkanku sendiri,"

"Bukankah aku sudah berjanji?" tanya Pallad berbalik.

"Heh?"

Gadis itu terdiam. Samar-samar ia kembali mengingat kejadian sebelum akhirnya dirinya berada di waktu yang sekarang. Janji itu, ia mendengarnya dalam setengah sadar. Ya, Cayna kira itu hanyalah mimpinya saja.

"Pallad! Masalah itu, aku minta maaf!" ucap Cayna meski sedikit ragu. Pemuda itu terdiam. Tidak ada satu kata yang terucap selama mungkin satu menit.

"Jangan menyalahkan diri sendiri atas perbuatan yang tidak kau lakukan," ucap Pallad dengan keseriusan.

"Heh?"

"Itu bukan perkataanku. Itu perkataan Lucky!" jujur Pallad.

"Kakakku? Kau menemuinya?" tanya Cayna tidak percaya.

"Kau tidak perlu khawatir! Dia sudah sadar dan sudah sangat baik –". Pallad mengeluarkan sepucuk surat dari saku pakaiannya. Itu adalah surat yang dititipkan Lucky padanya dan ia pun memberikan surat itu pada Cayna. " – Dari kakakmu!"

Gadis itu menerima surat itu dengan sedikit terkejut. Ia pun langsung membacanya. Ada perubahan dari raut wajah Cayna. Setidaknya itulah yang terlihat jelas oleh Pallad. Gadis itu tidak bisa menahan tangisannya. Beberapa tetes air matanya lolos dari pertahanan.

"Syukurlah!" ucap Cayna disela-sela isakkannya.

Pemuda di sampingnya menatap dengan sendu. Ia bisa merasakan apa yang gadis itu rasakan. Merasakan ikatan yang terikat pada keduanya. Ikatan yang hampir sama seperti ikatannya dengan Emu selama ini.

"Jangan mengorbankan nyawamu lagi untuk hal-hal seperti ini lagi," ucap Pallad tiba-tiba.

"Apa Lucky juga yang mengatakan itu?"

"Bukan! Ini perkataanku,"

Tubuh gadis itu mematung sesaat setelah mendengar perkataan itu. Ia bisa merasakan bahwa nada bicara dari pemuda itu berubah. Serius dan sedikit tegas. Namun siapa sangka bahwa kalimat itu membuat Cayna salah tingkah dan masuk ke dalam situasi yang kikuk. Mengapa pemuda itu bisa berkata seperti itu?

Miracle in the GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang