{eíkosi tría}

42 9 9
                                    

Ayah Eric sedang mencengkram tangan kanan Tante Ren. Berusaha mengambil stun gun dari tangannya. Sementara Eric sedang berusaha menyadarkan Zain yang sudah pingsan.

"Kamu apa-apaan, Ren?" gertak ayah Eric kepada Tante Ren.

"Kamu yang apa-apaan?" desis Tante Ren sambil berkacak pinggang.

Sementara Eric sedang sibuk menepuk-nepuk pipi Zain yang terkulai tidak sadarkan diri.

"Kalo kamu nggak ngelakuin ini ke aku, aku nggak bakal berbuat demikian," kata Tante Ren dengan wajah penuh amarah. "Aku ngelakuin ini bukan cuma buat balas dendam, tapi juga buat kesadaranmu." Tante Ren menunjuk ayah Eric.

Ayah Eric menaikkan sebelah bibirnya. "Ternyata kamu nggak berubah, ya? Aku nggak salah ninggalin kamu."

Eric yang mendengarnya tercekat dan tercengang.




































Zain membuka matanya perlahan. Badannya masih sedikit terasa setruman stun gun dari mamanya tadi. Ia pun menegakkan badannya. Sekarang ia sedang berada di salah satu ruang inap yang sangat kecil dibandingkan kamar tempat ibu Eric dirawat.

Tidak ada yang menjaganya di sini. Ia sendiri.

"Hhhhhh," Zain menghela napas.

Ia merogoh ponsel yang beruntungnya masih ada di saku celananya.

8 missed voice call

Dari Zein.

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan dirinya sekarang. Jika ia kembali ke ruang inap ibu Eric, tidak ada yang bisa memastikan ia akan baik-baik saja atau tidak.

Apa sebaiknya ia menelepon Eric saja?

Tapi sebelumnya ia ingin keluar dari ruangan sempit ini dulu.

Tapi ia tidak punya alas kaki sekarang. Apa orang-orang akan mengira dirinya adalah pasien yang melarikan diri?

Eh, tapi memang itu kenyataan bukan?

Tapi ia bukan benar-benar pasien di sini.

Zain akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruangan sempit itu. Sejujurnya ruangan itu luas, namun memiliki banyak bilik, makanya terasa sangat sempit. Namun anehnya, ia berada di ruangan itu sendrian.

Zain berada di bilik paling ujung. Rasanya sangat aneh ia sendirian di ruangan ini. Bilik-bilik di sekelilingnya juga rapi seperti belum digunakan. Zain merasa seperti— disembunyikan?

Entahlah.

Kemudian ia menuju pintu untuk keluar dari ruangan. Tapi—

"Terkunci?" gumamnya heran.

Ia mencoba memutar-mutar gagang pintu tersebut, namun tidak bisa. Kemudian mencoba mendobraknya, namun juga tidak bisa. Kemudian mencoba mencari alat apapun untuk merusak lubang kunci atau pintunya sekalipun, namun nihil.

"Seseorang tolong," lirihnya pasrah.










































Eric beruntung, Ryan dan Farrel datang tepat waktu. Ia sangat membutuhkan bantuan mereka sekarang.

"Ada apa, Ric?" tanya Ryan yang sedang mengikuti langkah Eric yang besar-besar.

"Pokoknya ikut dulu, nanti gue kasih tau," jawab Eric tanpa menghentikan langkahnya.

Ryan dan Farrel berpandangan. Kemudian keduanya mengangkat bahu dan melanjutkan langkah mereka yang tertinggal.

Mereka bertiga sedang berada di lift menuju lantai lima sekarang. Ketiganya terdiam sedari tadi. Tidak ada yang ingin berbicara ataupun membuka pembicaraan.

Lift pun akhirnya sampai di lantai lima. Mereka bertiga buru-buru keluar dan menuju ruang inap ibu Eric.

Namun saat sampai di depan pintu, Eric menghentikan langkahnya.

"Loh, kenapa nggak masuk?" tanya Ryan bingung.

Eric hanya menunduk.

"Kayaknya gue tau, deh," ujar Farrel dengan raut wajah khawatir. "Gue ngerasa ada hawa nggak enak di sini."

"Itu maksud gue," kata Eric menatap Ryan.

Kemudian Ryan memejamkan matanya untk merasakan sesuatu. Beberapa detik kemudian wajahnya terlihat terkaget-kaget.

"Ric," panggil Ryan yang sudah membuka matanya. "Ayo masuk sekarang!"

Tanpa aba-aba, Eric pun membuka pintu ruang inap ibunya dengan sedikit kasar. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat ayahnya diikat di sudut ruangan dalam keadaan tidak sadarkan diri dan ibunya yang memiliki luka tusuk di seluruh tubuhnya.

"I-ibu," ucapnya saat melihat ibunya. Keadaannya sungguh mengenaskan sekali. Luka tusuk dengan mulut penuh busa. Artinya, diracuni sebelum dibunuh.

Eric mengepalkan tangannya kuat-kuat. Amarahnya yang sudah sekian lama ia tahan akhirnya meledak.

"GUE TAU SIAPAPUN PASTI ADA DI RUANGAN INI!" teriaknya lantang hingga membuat Ryan dan Farrel terkejut.

Namun tidak ada yang menjawab.

"KELUAR CEPET!" Eric berteriak masih dengan volume yang sama.

Eric pun tidak merasakan ada seseorang di sini selain mereka. Maka ia pun menghentikan teriakannya. Kemudian ia menoleh ke arah Farrel.

"Rel, tolong, gue tau pasti ada orang di ruangan ini," pintanya kepada Farrel. "Tolong pake Indra keenam lo, tolong."

Farrel pun menggigit bibirnya sedikit ragu.

"Gue juga minta tolong lo, Rel," pinta Ryan yang berada di sebelahnya.

Farrel sempat menatap wajah Eric dan Ryan bergantian. "Baiklah."

Eric menghembuskan napas lega. Sekarang ia melihat Farrel sedang mengobrol dengan angin.

Beberapa saat kemudian, Farrel sudah selesai berbicara dengan angin. Kemudian ia menghampiri Eric.

"Gue tau dia ada di mana."

Kemudian Eric melihat Farrel membuka jendela ruangan. Dan seketika ia oun tersenyum.

"Kalian udah ketahuan, keluar aja."




|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang