{eíkosi téssera}

51 11 37
                                    

Sudah tidak heran lagi bahwa Tante Ren yang membuat kekacauan ini, ia sudah tahu. Namun yang membuat ia sangat terkejut adalah perempuan yang berdiri di sebelah Tante Ren.

"Erina?"

Erina pun mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk. "Ya?"

"L-lo...?" Eric tidak sanggup berbicara.

"Iya, gue terlibat dalam hal ini," kata Erina dengan gaya bicara yang angkuh. "Lo mau tau kenapa?"

Eric tidak menjawab.

"Orang itu—" Erina menunjuk jasad ibu Eric, "—sering jalan bareng ayah gue."

Tentu saja Eric sangat terkejut. "B-bohong!"

Erina meringis. "Gak percaya? Gue punya buktinya."

Kemudian Erina membuka ponselnya dan menunjukkan beberapa foto ayahnya dengan ibu Eric berjalan bersama. Beberapa foto juga menunjukan mereka sedang berpegangan tangan. Dan salah satunya menunjukkan saat mereka sedang pergi ke bar bersama.

"Bejat gak tuh ibu lo?" tanya Erina sarkas.

Eric meneguk liurnya. Ia benar-benar tidak tahu, sungguh.

"Tapi, apa membunuh yang harus lo lakukan buat membalas dendam? " tanya Farrel sinis. "Padahal ayah lo kan juga salah."

"Lo nggak usah ikutan," Erina menunjuk Farrel.

"Walaupun gue sama dia nggak asa hubungannya sama masalah ini, tapi kita temen Eric," bela Ryan.

"Udahlah anak kecil, saya mau ngehabisin Eric dulu boleh?" tanya Tante Ren dengan malas.

Eric takut. Benar-benar takut sekarang.

"Kalian berdua nggak usah ikut campur, pistol saya punya banyak peluru," Tante Ren menegaskan kepada Ryan dan Farrel yang sedang melindungi Eric di belakang mereka.

"Maaf mah ngasih tau aja, Eric nggak salah apa-apa, jadi atas dasar apa Anda berhak bunuh dia?" tanya Farrel.

Tante Ren tertawa kecil. "Menurutmu ketika ibu dan ayah seperti itu, apakah anaknya berbeda?"

Ryan menggeleng. "Setiap orang bisa berubah, Tante."

Erina jengah melihat mereka berbalas kata seperti itu.

"Kalian sungguh membuang-buang waktu!" Erina pun merebut pistol dari tangan Tante Ren dan meluncurkan satu buah peluru ke arah Eric.

Eric menutup matanya refleks. Namun sepersekian detik berikutnya, Eric tidak merasakan apapun yang melukai tubuhnya.

Begitu ia membuka mata, ia sangat terkejut. Apa yang ia lihat di depannya membuatnya gemetar.























"ZEIN?!"























Tubuh Zein yang tidak berdaya di depannya dengan darah yang mengalir deras dari punggungnya.

Bahkan Tante Ren dan Erina pun begitu terkejut.

"Zein, kamu gila ya?!" teriak Tante Ren yang sedang berlutut di depan Zein.

"Bener kata mereka, Ma, Eric nggak bersalah, jadi jangan bunuh dia," kata Zein lirih.

Eric hanya bisa mematung di tempatnya sekarang. Kejadian barusan sangat singkat hingga ia tidak mampu merasakanya. Ia masih terkejut dengan aksi Zein yang sungguh berani.

Tiba-tiba seseorang membuka pintu ruangan tersebut.

Polisi.

"Kalian berdua ikut kami," kata sang polisi menunjuk Tante Ren dan Erina.

"T-tapi anak saya..." Tante Ren menunjuk Zein yang terkapar tidak bernyawa.

"Biar kami yang urus," ujar polisi tersebut tegas.

Tante Ren hanya bisa pasrah diseret oleh dua orang polisi yang badannya besar-besar.

Sementara Erina sedang terkaget-kaget dengan kemunculan polisi yang tidak tahu datang dari mana dan dipanggil oleh siapa.

"Siapa yang manggil polisi?" tanya Farrel heran.

"Gak mungkin Zein, kan?" tanya Ryan. "Eh, tapi mungkin aja."

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Eric.







Room chat
Zain

|gue yang manggil polisi
|berterima kasihlah pada Zein
|dia nyari gue seperti orang kehilangan permata dan nyuruh gue manggil polisi karena pulsanya habis









Sedikit miris melihat pesan tersebut. Ketika ia mengurung Zain ke dalam ruangan kosong. Ia harus melindungi Zain karena Zain tidak bersalah.

Namun kali ia Eric merasa dirinya bersalah. Karena secara tidak langsung ia ikut membunuh Zein.

Maka ia pun mengetikkan balasan kepada Zain yang mungkin akan membuat Zain merasa menyesal sepanjang hari.


Maaf Zain|
Zein terbunuh|
















































Setelah proses pemakaman ibu Eric dan Zein selesai, Eric mendatangi rumah sakit lagi. Ayahnya sedang di rawat di sana. Bagaimanapun kondisi ayahnya sama seperti kondisi ibunya dulu, koma.

"Ayah, cepet bangun, aku belom sempet ngobrol, nih." Eric menggenggam tangan besar ayahnya.

























"Ayah, berarti Zain itu saudaraku, kan?"



|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang