Cala - Latihan

165 28 8
                                    

Chapter 16
Latihan

Dengan langkah malas Naira berjalan menuju lantai dua. Seharusnya rooftoop berada di lantai paling atas.

Namun, langkah Naira terhenti saat berada di bawan anak tangga lantai dua menuju lantai tiga.

Kamar Hejian berada di lantai paling atas. Naira ingat betul hal tersebut saat pertama kali Hejian memperkerjakannya. Rasanya memalukan jika dia numpang lewat menuju rooftoop ketika harus berjalan melewati kamar Hejian.

Naira mendesah napas frustasi. Geisha sendiri yang menyuruhnya naik ke atas. Lagi pula, Naira yakin Hejian tidak akan keberatan jika dia hanya numpang lewat sebentar.

Satu anak tangga berhasil di tapakinya. Kaki Naira terus bergerak naik semakin tinggi.

Hal pertama yang disorot pelupuk mata Naira hanya dinding putih, ketika tubuhnya secara sempurna mendarat di lantai atas.

Dia disambut sebuah lorong putih panjang. Sedikit melegakan karena bukan sebuah ruangan kamar yang menyambutnya.

Naira memperhatikan sekeliling sambil terus melangkah menyusuri lorong. Netra matanya menilik setiap dinding hingga ia menemukan sebuah pintu berpigura gambar Naga putih.

Naira berhenti sejenak, memandang ukiran daun pintu dengan sedikit takjub. Tangannya terulur untuk menyentuh. Ukiran daun pintu tersebut terlihat seperti nyata.

Tapi saat jari-jemarinya hampir menyentuh. Dia buru-buru menarik tangannya dan bergegas pergi menuju anak tangga terakhir di ujung lorong.

Di atas rooftoop, warna langit mulai sedikit bercahaya. Hingga menampakkan warna kebiruan.

Geisha berdiri di dekat pagar pembatas yang dibuat dari terali besi berwarna putih. Lampu-lampu kecil berwarna keemasan masih menampakkan cahaya mereka dari atas sebuah jaring yang dibuat seperti atap.

"Lo terlambat 10 menit."

Kening Naira berkerut.

"Gue gak bisa secepat tadi," protes Naira

"Gue gak peduli. Itu urusan lo."

Semakin berkerutlah kening Naira.

"Pelajaran pertama." Langkah kaki Geisha bergerak mendekati Naira
"Latihan pengaturan napas dan kuda-kuda."

Baru 10 menit berlalu. Napas Naira mulai tampak tersengal-sengal. Pelatihan yang dilakukan Geisha seperti didikan dari seorang Hitler. Gerakan pemanasannya saja sudah membuat Naira kewalahan.

Untuk gadis yang malas berolahraga seperti Naira. Tentu saja, hal tersebut sangatlah melelahkan. Mulai dari merenggangkan tubuh hingga menjaga keseimbangan tubuh. Geisha tidak setengah-setengah melatih Naira.

"Angkat tangan lo!!" titahnya saat Naira tidak maksimal melakukan gerakan. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali meneriakkan Naira ini dan itu.

Pelajaran pertama hari itu berakhir ketika matahari sudah setengah perjalanan menuju cakrawala. Badan Naira seperti mau remuk.

Satu hal yang dia inginkan adalah tempat tidur. Maka setelah semua pengajaran Geisha selesai, Naira bergegas turun ke lantai bawah dan tidur sesegera mungkin.

"Cih, dasar kebo," cibir Geisha dari muka pintu kamar. Ditariknya pintu tersebut hingga menutup dengan rapat.

.
.
.

Matahari mulai meninggi. Para warga desa mulai berbondong-bondong menuju ladang gandum mereka masing-masing.

Namun, dari kejauhan. Kerumunan pria berseragam prajurit langsung menyita perhatian. Beberapa orang telah berkumpul dari kejauhan. Menyaksikan apa yang tengah terjadi.

Sebagian dari mereka nampak ketakutan. Bisik-bisik pun mulai terdengar.

"Yang mulia," sapa seorang prajurit berbajuh Jirah. "Monumen ini tidak dapat dibangun ulang. Pondasinya selalu saja roboh ketika para pekerja mulai membangunnya."

Zenriz, Lord saat ini. Dia hanya terdiam di atas surai kuda hitam kebanggaannya. Jubah kebesarannya yang berwarna putih tulang. Berkibar-kibar ditiup angin.

Sorot matanya selalu tajam dan mengintimidasi.

"Hancurkan saja kalau begitu."

Sang prajurit mendongak tidak percaya.

"Ba- Baik Yang mulia."

Dia berbalik, meneriakkan sebuah perintah pada anak buahnya. Jirah besinya melambangkan seekor Naga yang mengigit Naga lain. Itulah simbol keberhasilan Zenriz mengalahkan enam Lord lainnya.

Tanpa melihat bagaimana proses pengerjaan itu dikerjakan. Dipacunya Clay, kuda hitam kesayangannya dengan cepat.

Butuh beberapa jam bagi Zenriz untuk tiba di ibukota kerajaan. Melalui hutan dan jalan setapak yang sudah diperbesar untuk dilalui kereta kuda.

Zenriz terus menghentakkan Clay untuk terus berlari dengan cepat. Seperti yang ia duga sebelumnya. Monumen di tanah perang itu telah roboh.

Ada pergerakan dari dia yang telah di tunjuk oleh langit. Zenriz tersenyum tipis. Membayangkan rapuhnya seorang gadis dari dunia dan bangsa berbeda akan menaklukannya.

Mereka yang notabane-nya adalah para Lord. Mampu dikalahkan Zenriz dengan mudah. Zenriz menertawakan tindakan Hejian yang sangat kekanakkan. Biarlah dia melakukan apa yang menurutnya benar.

Apa yang telah dikibarkan. Tidak akan pernah turun kembali.

Zenriz mengulang kata-kata sihirnya dalam hati. Itu adalah sebuah mantra yang selalu dia hapalkan guna menyakinkan dirinya.

Ketika hutan mulai terkikis. Rumah-rumah dari atap jerami mulai nampak dari kejauhan.

Penduduk desa yang awalnya tengah sibuk di jalan desa. Segera menyingkir dan menyembunyikan diri begitu melihat Zenriz di atas Clay.

Mereka berlari, menabrak apapun untuk selamat dari tatapan kekejian sang Lord. Bagi Zenriz, fenomena itu adalah hal yang biasa.

Dia terus memacu kurang tanpa henti. Manusia siapa yang berani menghentikan laju kudanya. Maka, akan berakhir dengan sebuah nama.

"NgiKkk!!!"

Clay meringkik. Kedua kaki depannya terangkat ke atas dengan tinggi-tinggi. Dengan sigap, Zenriz menenangkan Clay.

"Uhuhu." Seorang gadis kecil tengah menangis di atas tanah. Pakaiannya lusuh dan penuh tambalan. Orang-orang di sekitar terperangah dengan keberadaan gadis tersebut.

Mereka saling menatap. Bertanya-tanya, siapa gadis kecil tersebut. Namun sepertinya, tak ada seorang pun yang mengenalnya.

Zenriz masih di atas Clay. Menatap sangar pada gadis tersebut. Orang-orang menelan ludah dengan sesak. Gadis kecil itu akan segera di eksekusi mati.

"A- Aku lapar," rengeknya pada Zenriz. Kilat mata Zenriz berkilat tajam.

"Pa- Paman?"

Mati sudah

Orang-orang tidak sanggup melihat adegan selanjutnya. Mereka memilih menutup mata. Ingin rasanya sebagian dari diri mereka menyelamatkan gadis tersebut.

Namun, semua orang sadar. Itu sama saja dengan bunuh diri di hadapan singa lapar.

Netra mata Zenriz berkilat tajam. Di tariknya pedang dari sarung yang bertengker di pinggangnya. Mata pedang itu berkilau saat di timpa cahaya matahari.

SreTtt

Percikan darah memenuhi tanah. Semua orang menutup mata dengan rasa bersalah.

___/___/____/____/_____/_____

Cea Cia No

Veorovia (S1 END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang