Faykal - Segel

129 29 2
                                    

Chapter 29
Segel

Air matanya tumpah, sungguh pria itu sangat mencemaskan dirinya. Disentuh pipi Naira dengan lembut. Lalu beralih ke bibir Naira yang putih pucat.

Sedetik kemudian, ia mendekap Naira dalam pelukannya. Ia menangis dalam diam. Wanita itu benar-benar sendirian.

Beberapa menit yang lalu, Wingsa sendiri cukup terkejut dengan seberkas cahaya yang menyelimuti tubuhnya secara keseluruhan.

Perlahan cahaya tersebut meleburkan dirinya ke dalam udara. Awalnya Wingsa panik bukan main, namun semuanya berubah.

Saat ia melihat Naira hampir limbung ke lantai. Dan dengan sigap ia menangkap Naira menggunakan bahu kanannya.

Entah apa yang terjadi, Wingsa tidak peduli. Entah sihir apa yang menyeretnya. Selama Naira bisa ditemukan. Semuanya akan baik-baik saja.

Kemudian, ia pun membopong  Naira dibalik punggung. Koridor di sekitar seolah familiar. Dan tanpa membuang waktu. Wingsa pun berlari membawa Naira pergi.

Istana Zenriz bagaikan sebuah labirin bagi mereka yang tak mengenalnya. Rembulan diluar bersinar cerah. Wingsa beberapa kali hampir berpas-pas'an dengan para penjaga yang berpatroli. Hingga sebuah keberutungan memihaknya.

Sebuah pintu besar tengah terbuka di ujung lorong. Pintu tersebut memperlihatkan nuansa langit malam. Benar saja, pintu itu membawa Wingsa dan Naira pada halaman istana.

Sebelum melangkah menuju gerbang pintu. Wingsa pun melirik ke kanan dan ke kiri. Memastikan tidak ada siapapun yang melihatnya. Di dunia tersebut memang tidak ada cctv.

Tapi para penjaga yang berjaga di menara pengawas mungkin saja melihatnya. Wingsa harus memikirkan resiko ini. Serangan anak panah akan membuat Naira dan ia terluka sebelum berhasil keluar.

Maka dengan itu, Wingsa memilih berjalan menepi di dekat dinding istana untuk memeriksa. Semilir angin membuat tubuhnya menggigil kedinginan.

Di atas punggung, Naira masih pingsan. Tubuhnya terkulai lemah. Entah bagaimana Wingsa berpikir keras. Naira harus selamat kembali ke Jakarta.

Beberapa meter berjalan menelusuri keadaan. Wingsa yakin bahwa tak ada menara pengawas yang berada di sekitar area tersebut. Dan tanpa membuang waktu. Ia pun segera kembali ke tempat semula. Di mana gerbang yang berada pada dinding beton berada.

Dengan langkah tertatih, ia berhasil kembali dan mendekat ke arah pintu gerbang. Satu tangannya pun terulur ke depan untuk membuka pintu. Hingga sebuah sengatan bagai listrik membuatnya kembali menarik tangannya.

"Cih, apa pintu ini di mantrai sesuatu?" desis Wingsa dengan kesal. Ia pun kembali melirik ke arah kanan dan kiri. Tempat itu masih saja sepi. Tapi di menit-menit selanjutnya, ia tak kan bisa menebak. Apa yang akan terjadi. Bisa saja, seseorang memergoki mereka.

Ia sendiri pun tak ada niat untuk kembali. Pintu keluar berada di depan mata. Maka dari itu, tangannya pun kembali terulur untuk membuka pintu dan sialnya lagi. Sengatan yang membakar kulit ia rasakan.

Sesuatu berwarna hitam bagai akar pohon, menjalar kecil di leher Wingsa. Pria itu pun sama sekali tidak menyadarinya.

Tidak putus asa, Wingsa kembali memegang ganggang pintu gerbang. Sengatan membakar benar-benar membuat kulitnya merasa sangat nyeri dan kesakitan.

Ditahan semua rasa sakit itu, lalu ditariknya pintu secara perlahan-lahan. Derit pintu yang berbunyi, membuat secercah harapan. Pintu gerbang tersebut terbuka sedikit. Cukup untuk ia lewati bersama Naira.

Dengan cepat, Wingsa pun kembali berlari sejauh yang bisa. Tapi seketika saja ia berhenti melangkah. Rupanya tempat yang ia lewati masih bagian dari istana milik Zenriz.

Beberapa prajurit yang sedang bertugas atau sekedar berjalan di sekitar. Tertengun menatap Wingsa dan Naira.

Dari penampilan keduanya pun membuat kesan mereka semakin aneh di bangsa Veorovia. Beberapa orang saling pandang dengan terheran-heran.

Wingsa pun menelan salivanya dengan sesak. Lalu netranya bergerak mengamati sekitar, guna mencari jalan keluar.

Benar saja, ada pintu lain tak jauh dari tempat itu. Namun, melewati para prajurit bersenjata tidak bisa dianggap enteng.

Untuk pria modern seperti Wingsa, ia sendiri tidak cukup mahir menggunakan pedang. Kecuali, sebuah balok kayu untuk memukul lawannya. Ditambah, kemampuan sihir yang mereka miliki seperti Hejian dan Geisha.

"Wing ... sa?" lirih Naira setengah sadar.

Mendengar suara Naira yang terbangun. Semakin membuat Wingsa merasa cemas.

"Tutup matamu!" tukas Wingsa dengan nada memerintah.

"Mengapa?"

"Tutup!!" tegasnya lagi. Naira pun menurut. Kedua matanya ia pejamkan kembali.

"Wingsa," lirihnya pelan.

"Jangan khawatir. Gue akan membawa lo pulang."

Satu langkah awal dan akhirnya menjadi langkah seribu untuk Wingsa melarikan diri. Beberpa prajurit berbaju zirah, seketika saja ikut berlari mengejar Wingsa.

Suara denting baju lempengan bergambar kepala naga sedang menggigit kepala naga yang lain menjadikan suara gemerisik yang cukup berisik.

Semakin cepat Wingsa berlari, orang-orang yang mengejarnya pun semakin bertambah. Bahkan sebelum ia mencapai apa yang dituju. Para prajurit sudah mengepungnya dari segala sisi.

"Berhenti!" seru seseorang seraya menarik sebilah pedang dari dalam sarung pedang yang ia kenakan.

Tempat yang merepotkan, Wingsa melirik para prajurit di hadapannya satu persatu. Ia sendiri tengah memikirkan rencana kedua membawa Naira pulang. Tapi sepertinya tak ada jalan keluar dari masalah yang sedang terjadi.

"Minggir!"

Suara seseorang membubarkan barisan para pengepung. Ada emosi dan amarah dalam nada tersebut.

Zenriz menatap Wingsa dengan mata terbelalak lebar. Sorot matanya seolah menunjukkan bahwa ia seperti sedang melihat hantu. Ditambah melihat Naira yang telah kembali terlelap di atas punggung sang kekasih.

"Bagaimana bisa?" serunya.

Tak ada sahutan. Hanya kesunyian malam dan binatang nokturnal yang mengiringi situasi tersebut.

"Tangkap dan bunuh mereka berdua!" titah Zenriz dengan gerakan menunjuk.

Urat-urat di lehernya mencuat keluar dari epidermis kulit. Air wajahnya pun memerah padam.

Wingsa merasa terpojok. Jika pun ia harus mati. Setidaknya, Naira harus selamat. Tak kan ia biarkan wanita yang ia cintai ikut menderita.

"Argh!"

Secara mengejutkan Wingsa jatuh terduduk di atas tanah. Bibirnya mengeluarkan suara erangan yang memilukan.

Di bagian leher kanannya, corak semacam akar pohon bewarna hitam semakin menjalar dan melebar di area bahu hingga bawah rahang.

Corak tersebut bergerak dan menghasilkan sebuah cahaya yang bersinar cukup terang.

Di tengah rasa kesakitan yang tak tertahankan. Tubuh Naira masih ia pertahankan dengan baik.

Di lain sisi, Hejian dan Geisha tengah menatap batu oval putih yang ia kenakan. Batu bertuah putih itu seolah mengirim pesan suara yang tak terdefinisikan. Sorot mata keduanya pun melebar bersamaan.

"Segel Ranzel!" seru mereka serempak.

"Zenriz dan Ranzel pasti telah bertemu. Geisha," tukas Hejian, "kamu harus segera ke Veorovia. Segel itu akan membahayakan ia dan Naira."

"Tapi," seru Geisha ragu-ragu. "Apakah Wingsa mengetahui dan sadar. Bahwa ia adalah Ranzel?"

_/_/_/__/____

Cea Cia Noo

Veorovia (S1 END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang