#part 2

8.8K 623 5
                                    

Indra penglihatan Taehyung berhenti tepat dimata kucing milik Jennie, mereka saling menatap sedangkan Jennie masih memberontak. Pria itu menatap tajam bola mata Jennie. Tatapannya sangat menakutkan, setidaknya itu yang Jennie lihat.

Tidak lama kemudian. Taehyung mendekatkan wajahnya pada wajah Jennie. Jujur saja, saat ini perasaan Jennie sedang diaduk-aduk, antara kaget, kesal dan juga gugup.

Jarak wajah mereka semakin lama semakin dekat. Taehyung memegang dagu Jennie —memaksa agar gadis itu tidak beralih menatapnya. Bibirnya semakin didekatkan dengan mulut Jennie. Dan, satu ciuman singkat pun mengenai bibir pink alami gadis itu.

Jennie melebarkan matanya. Kaget. Kejadian itu terjadi sangat cepat hingga tidak ada celah untuk ia berfikir jernih.

"Apa!?" Jennie menatap bingung Taehyung. Menuntut penjelasan dari pria itu lewat raut wajahnya.

"Kau Kim Jennie, bukan?" tanya Taehyung setelah bibirnya terlepas dari bibir Jennie. Ia masih menindih tubuh mungil gadis di hadapannya tanpa memperdulikan Jennie yang terlihat keberatan. Suaranya masih dingin seperti awal kenalan.

"Em... Ya, ada apa?" jawab Jennie menautkan kedua alisnya.

Taehyung akhirnya turun dan memilih untuk duduk di pinggir kasur.

"Hm, lumayan untuk awal." balas Taehyung ber-smirk aneh yang membuat Jennie semakin bingung dibuatnya.

"Apa yang dia katakan?" gumam Jennie mencerna kembali ucapan Taehyung.

Taehyung tersenyum tipis, bangkit dari kasur dan berjalan keluar kamar, entah dia ingin kemana. Namun yang pasti, ia meninggalkan sepasang mata yang masih menatapnya bingung.

"Apa itu tadi?" Gumam Jennie setelah suara pintu tertutup terdengar.

Taehyung sepenuhnya sudah keluar dari kamar. Jennie mencoba menormalkan detak jantungnya yang sejak tadi berdetak tidak normal di dalam sana.

Satu beban keluar. Jennie dapat menghirup nafas bebas lagi setelah kepergian Taehyung.

"Akhh! Kenapa harus pria aneh yang akan menjadi suamiku!" Jennie melempar sebuah bantal ke pintu kamarnya yang tertutup. Menyesali keputusannya untuk menerima perjodohan ini. Pria itu memang tipe Jennie, namun ada sesuatu yang sangat Jennie tidak sukai, sikapnya yang cuek, dingin dan sombong. Itu semua membuat Jennie sedikit menyesal untuk menerima pria itu dikehidupannya.

"Pernikahan adalah neraka kedua bagiku." Jennie mengibaratkan pernikahan dengan hal- hal yang mengerikan. Pikirnya, ketika ia sudah menikah pasti hidupnya menjadi terkekang oleh pria menyebalkan itu.

Jennie berjalan sempoyongan menuju kamar mandi yang berjarak tidak jauh. Jennie menemukan sebuah ide, ia langsung mencari-cari keberadaan ponselnya yang tadi sempat ia ambil dan tidak salah diselipkan di salah satu saku.

Setelah menemukan benda persegi panjang itu. Jennie dengan cepat mencari sebuah nomor didaftar kontaknya. "Ayolah! Angkat!" Jennie terlihat tidak sabaran untuk berbicara dengan seseorang lewat panggilan setelah nomor yang menjadi tujuannya sudah ditemukan.

Akhirnya panggilan suara Jennie terbalas. Wajah Jennie langsung kegirangan karena senang.

"Hallo?" sapa seorang wanita dari seberang sana, suaranya terdengar bingung.

"Lis- Lisa!" Balas Jennie langsung menyambar. Ternyata yang sedang ia ajak telefon adalah Lisa.

"Hallo, ini siapa?" tanya Lisa masih bingung karena Jennie belum juga memberitahukan namanya.

"Haiss! Kau lupa denganku, ya?"

"Um... Memangnya kau siapa?" tanyanya lagi yang memang belum mengetahui kalo yang sedang berbicara adalah Jennie, temannya sewaktu tinggal di korea dulu.

"Ck! Kau ini." Jennie mendecak lirih.

"Ah... Apa kau Jennie?" Lisa langsung hafal akan logat berbicara Jennie saat gadis itu mendecak pelan.

"Akhirnya." Jennie tersenyum lega.

"Kekeke, mianhae. Kita, kan, sudah lama tidak berbicara lewat panggilan seperti. Jadi maklumlah jika aku lupa."

"Arraseo. Oh iya, Lisa, kau sedang ada di mana?" Suara Jennie mulai serius padahal sebenarnya ia tahu kalo Lisa sedang ada di Jepang. Jennie hanya bertanya untuk meyakinkan saja.

"Aku masih tinggal di Tokyo. Memangnya ada apa?"

"Apakah masih lama?" Jennie mempelankan suaranya sebelum kembali berbicara, "lalu, kapan kau pulang kembali ke Seoul?" Sambungnya meminta jawaban yang pasti dari Lisa.

"Banyak kemungkinan aku akan pulang minggu depan. Memangnya ada apa?"

"I miss you." Jennie tersenyum geli.

"Jinjja? Arraseo arraseo, aku akan pulang dengan cepat dan langsung mengabarimu." Suara Lisa terdengar terharu bercampur senang.

" Lisa, kalo kau pulang, mampir ke rumahku dulu, ya." Pinta Jennie sedikit memohon.

"Um? Ngapain?"

"Ya... Gak apa-apa. Anggap aja main. Aku ingin menceritakan sesuatu padamu. Atau, ketika nanti kau pulang, biar aku saja yang menjemputmu. Bagaimana?" Jennie menawarkan bantuan.

"Hm... boleh juga." Lisa menimbang-nimbang tawaran Jennie yang menurutnya juga ide bagus. " Oh iya. Jemputnya di stasiun saja."

"Nee. Aku akan meminjam mobil milik Seok-Jin Oppa saja untuk menjemputmu."

"Seterah kau saja. Tapi jangan terlalu lama, ya. Bisa-bisa aku kesasar karena sudah lama tidak datang ke Seoul." Lisa tiba-tiba mengingat salah satu kebiasaan Jennie yang tidak tepat waktu. "Eh! Udah dulu, ya, sepertinya Appaku manggil tadi."

"Nee. Sampai bertemu lagi."

Panggilan suara itu pun diakhiri oleh Lisa. Jennie menyimpan ponselnya dipinggir westafel.

" Lisa?" gumam Jennis lirih sambil menyungging senyum senang. Lisa mungkin bisa menghibur dan menjadi teman bercerita saat ini. Mengingat dulu sosok Lisa adalah sahabat dekatnya dan mereka terpaksa harus berpisah karena jarak.

~bersambung~

Selesai revisi: 6 Juni 2021

My Cold FianceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang