Nate tidak ingin mengambil resiko mati karena kedingininan, Tessa akan sedih dengan kenyataan itu. Maka dari itu, dia membawa Tessa berjalan-jalan ke tebing tinggi yang dikelilingi hutan pinus dan dengan paparan panas matahari menyengat.
"Aku selalu ingin ke sana," tunjuk Nate pada satu tebing yang berada di tengah jurang. Tebing itu menjulang tinggi, namun tidak tercapai oleh siapapun.
"Kau sering ke sini?" tanya Tessa.
Nate tersenyum tipis dan mengangguk. "Saat aku sedang ingin sendiri, aku akan duduk di sini sampai langit menjadi gelap."
"Kau mau ke sana?" tunjuk Tessa pada tebing itu.
"Kau bisa terbang?" tanya Nate kaget.
Tessa tertawa. "Bukan terbang..." ucapnya sambil memegang pundak Nate.
Nate shock bukan main, tiba-tiba saja dia dan Tessa sudah berpindah ke tebing yang tadi hanya bisa dilihat oleh mata. Tepat dikelilingi oleh jurang, dengan diameter yang bisa mereka injak sebesar 100 senti meter.
"Tapi melesat," lanjut Tessa terlambat. "Kau membuatku takut dengan wajah seperti itu," tambahnya lagi, meledek.
Nate benar-benar harus membiasakan diri dengan hal-hal yang tidak masuk akal mulai dari sekarang. Melesat secepat apa tadi? Sampai dia tidak merasakan apapun dan tau-tau sudah berpindah tempat.
"Melesat atau menghilang?"
Lagi-lagi Tessa tertawa. "Aku bukan Jin di dalam botol, Nate. Juga bukan Superman seandainya kau berpikir aku bisa terbang."
Nate meringis dan menggaruk kepalanya. "Kau berbohong bila bilang tidak bisa membaca pikiranku," cecarnya.
"Sungguh, aku hanya menebak. Kau sangat mudah ditebak," ledek Tessa kembali.
Tessa duduk di ujung tebing, membuat kakinya menjuntai ke bawah. Nate pun melakukan hal yang sama, mereka bersebelahan. Agar Nate tidak kepanasan di bawah terik matahari yang begitu dekat dengan mereka, Tessa menyandarkan kepalanya ke pundak pria itu.
"Kau berasal dari mana sebenarnya, Tess? Maksudku... apa yang sepertimu ini sangat banyak?" tanya Nate. Dia hanya ingin tahu keluarga Tessa, tetapi bingung bagaimana cara menyebutnya.
"Kami punya kerajaan, jauh dari sini dan tidak ada siapapun yang tahu tempat itu ada."
"Kami?"
"Ya, sekawanan Vampire. Bangsaku. Rakyatku."
"Kau..."
"Ayahku Raja di sana," beritahu Tessa langsung.
"Waw..." Entah harus bereaksi seperti apa, intinya Nate membayangkan sebuah kerjaan di Negeri dongeng. Dia tidak punya clue, seperti apa bentuk Kerajaan Vampire.
"Aku melarikan diri dari Mereka," ujar Tessa lagi.
"Jadi... Kau satu-satunya yang ada di sini?"
"Mungkin."
"Kenapa kau pergi?"
"Kami meminum darah manusia yang masih hidup, dipenuhi teriakan kesakitan saat racun kami masuk ke tubuh mereka. Saat itu, aku diberikan makan siang seorang manusia yang mampu merubah pandanganku, ketakutan di matanya membuatku tidak ingin membunuhnya. Aku menyembunyikannya di kamarku. Kami berteman, sejak saat itu aku sadar kalau manusia sangatlah hangat."
"Lalu?"
"Lama kelamaan, banyak yang mencium aromanya di Kerajaan kami. Dia dianggap penyusup dan mulai diburu. Dari sana aku membawanya lari. Aku tidak ingin kehilangannya," lanjut Tessa.
"Dia mengajari aku cara menjadi seorang manusia, agar tidak ada yang curiga. Hanya saja, suhu tubuhku ini memang tidak bisa disembunyikan. Aku sudah bersumpah tidak ingin membunuh manusia hanya untuk membuatku hangat," lajut Tessa.
Wajah Nate berubah lesu. Bukan karena fakta mengerikan yang Tessa ungkap, tapi tentang manusia itu. "Di mana dia sekarang?" tanyanya.
"Sudah tiada," jawab Nate.
"Siapa yang membunuhnya?"
Tessa menggeleng. "Tidak ada, dia menua dan meninggal di usia yang seharusnya."
"Kau pasti sangat sedih," ujar Nate dengan wajah mengeras.
"Ya, kami menjalani banyak hubungan seiring dengan bertambahnya usianya. Awalnya dia menjadi temanku, lalu kakakku, kemudian Ibuku."
Wajah Nate berseri kembali, "dia wanita?" tanyanya tercengir.
"Kau pikir?"
Nate menggeleng dan tertawa pelan. Dia telah cemburu pada seseorang yang tidak seharusnya, menggelikan.
"Itu sebabnya aku tidak suka berteman dengan manusia. Mereka akan mati dan aku sendirian lagi. Kehilangan adalah sesuatu yang lebih menyakitkan dari sekedar tidak meminum darah."
Nate pun mulai menyadari itu, kalau kelak dirinya akan menua dan mati. "Tidak bisakah kau menjadikanku Vampire sehingga kita bisa bersama selamanya?"
Tessa tertawa. "Stop membandingkan kisah kita dengan Film yang kau tonton Nate, ini berbeda," ledeknya.
Nate pun lesu.
"Jangan dipikirkan, kita masih memiliki banyak waktu. Kau boleh berhenti dari sekarang sebelum terlalu dalam," suruh Tessa membuat pilihan.
Nate mendengkus. "Berhenti? Jangan bermimpi, Tes. Aku tidak akan pernah melepaskanmu."
Nate meraih wajah Tessa dan mencium bibirnya. Matahari cukup membantu Nate menenggelamkan bibirnya ke ceruk leher Tessa. Wanita ini nyaris seperti manusia seandainya dia hangat.
"Ahh." Desahan kecil keluar dari bibir Tessa saat Nate mengecupi lehernya.
Nate sedikit terkejut, Tessa bisa merasakan ciumannya? Vampire juga memiliki hormon estrogen?
Nate tersenyum, dilanjutkannya setiap kecupan di leher putih mulus itu. Dia semakin menggilai Tessa, dengan semua fakta yang ada.
"Nate..." Tessa mendorong pria itu saat kendalinya mulai lepas. Perubahan pada mata dan giginya menandakan kalau dia harus berhenti bila tidak ingin Nate celaka.
Nate menatap lembut Tessa, diusapnya pipi wanita itu dengan lembut. "Cinta kita jauh lebih kuat dari keinginanmu membunuhku, kau tidak menyadari itu?" tanyanya.
"Aku sangat takut menyakitimu atau... Saat aku sadar kau sudah tidak bernyawa, Nate..." lirih Tessa. Perlahan Tessa normal kembali.
Nate menggeleng. "Tidak akan, aku percaya padamu," ujarnya meyakinkan.
✿ ✿ ✿
Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya..
Oh ya... sebelum kalian terlalu jauh membaca, perlu aku notice kalau cerita ini akan banyak mengandung adegan2 dewasa.
So... kondisikan umur masing2, kalau masih bocah tau diri ye kan jangan dibaca.
Next Part akan bergantung pada jumlah vote kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Women (SELESAI)
VampireWarning: Banyak adegan dewasa di dalamnya (Adult romance) Tessa Volta, dia adalah Mahasiswi yang sangat sulit didekati, sehingga mendapatkan predikat Anti Sosial. Cantik, berkulit putih dan sedingin es. Meski tidak memiliki teman, Tessa merasa hidup...