Chapter 3. Trial

14K 1.4K 198
                                    

Setelah terjebak di dalam situasi yang sulit diurai dengan logika, Nate justru ingin menantang maut demi menuntaskan rasa penasarannya akan Tessa. Kali ini, dia tidak akan mencari Tessa seperti kebodohannya selama ini. Dia ingin, Tessa sendiri yang datang padanya.

Semua hanya tentang pilihan dan Nate tidak takut apapun resikonya.

Suara mesin mobil Nate menderu bagai suara knalpot saat ada balapan. Semua Mahasiswa di Kampus menoleh ke arahnya, kemudian mobil itu melesat tak terlihat lagi.

Nate terus memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia mencari tempat yang tepat untuk melancarkan aksi uji cobanya. Setidaknya, tidak di tengah keramaian agar yang celaka cukup dirinya sendiri.

Mobil itu berbelok tajam ke arah jembatan, terus melaju hingga sampai pada sebuah jalan bebatuan. Sudah terlalu jauh dia pergi, entah siapa yang akan menemukan mayatnya nanti.

Melihat sesuatu yang mengerikan di depannya, Nate berhenti sejenak. Apa yang dia inginkan ada di depan mata, sebuah akhir dari perjalanan yang akan membawanya ke dalam jurang. Bisa selamat? Mustahil.

Seketika, penolakan demi penolakan yang Tessa lakukan padanya merayapi ingatan.

"Kau ingin aku berhenti, Tess? Inilah caranya," desis Nate sembari melepas rem dan mulai menginjak gas.

Dada Nate bergemuruh hebat ketika mobilnya melaju tak terkendali melewati bebatuan besar yang akan menghantarkannya ke tepi jurang. Masih ada waktu bila dia ingin berhenti, namun injakan kakinya pada pedal gas malah semakin dalam.

Nate sontak memejamkan mata saat mobilnya segera jatuh ke bawah jurang yang mengerikan itu.

But wait...

Nate tidak merasakan mobilnya menukik seperti yang seharusnya bila jatuh. Dia membuka matanya, seketika beradu dengan mata sebening kristal yang tepat ada di depan mobil itu.

Tessa, wanita itu menatap Nate tajam. Rambutnya yang panjang kemerahan, melayang diterpa angin. Kulitnya yang putih itu semakin kontras di bawah cahaya matahari, seperti kau melihat salju.

Nate membuka pintu mobilnya, fakta bahwa Tessa bukanlah manusia biasa sama sekali tidak membuatnya takut. Dia justru mendekati wanita itu. Wanita yang bisa berdiri stabil di tepi jurang dan sanggup menghentikan laju mobilnya.

Nate naik ke atas kap mobilnya, duduk di sana menikmati pemandangan indah yang terhampar di depan mata.

Tessa pun ikut duduk di sebelah Nate, menatap pohon pinus yang tersusun rapi. Lalu dia menoleh pada Nate, "kau tidak takut?" tanyanya.

"Pada kematian? Tentu aku sedikit takut tadi," jawab Nate tanpa menoleh ke arah Tessa. Dia takut bila tiba-tiba wanita itu menghilang kembali.

"Padaku."

Barulah Nate menoleh pada Tessa. Dia benar-benar terpesona pada kecantikan wanita itu. "Bila aku takut, aku tidak akan ke sini, Tessa."

"Kenapa kau menantang bahaya, Nate?"

"Karena aku tau, kau akan datang," jawab Nate.

"Bagaimana kau bisa seyakin itu aku akan datang? Kemungkinan terbesarnya aku tidak akan datang, Nate."

Nate tersenyum geli, "nyatanya kau ada di sini, Tessa."

Tessa mendesah berat. "Aku tidak ingin menjadi alasan manusia mati. Jangan melakukan ini lagi hanya karena kau penasaran padaku."

"Kalau begitu, jangan lari lagi. Jangan menolakku lagi. Berhenti bersembunyi karena aku akan tetap mencarimu," minta Nate.

Tessa kembali menatap Nate lekat. "Kau sedang tidak sadar dengan apa yang kau ucapkan, Nate. Aku tidaklah sama dengan wanita-wanita yang selama ini kau kejar."

Nate tertawa. "Kau salah Tessa, mereka yang mengejarku. Ini pertama kalinya aku mengejar wanita, kau orangnya."

Tessa tidak pernah selembut ini dalam menatap seseorang. Dia seperti telah melepas topeng. "Tetap saja aku berbeda, Nate."

"Maksudmu ini?" Nate meraih tangan Tessa dan menggenggamnya. Dingin dan hangat bertemu. "Aku bisa tahan dengan ini," ujarnya meyakinkan.

Tessa menatap genggaman tangan Nate itu dalam dia. Lalu dia mulai menghitung, "lima... empat... tiga... dua..."

"Aku akan berusaha lebih lama," kata Nate sambil melepaskan tangan Tessa. Bila kau penasaran seperti apa dinginnya, maka genggamlah bongkahan es selama yang kau bisa.

Tessa tiba-tiba tertawa kecil, membuat Nate takjub luar biasa. Diraihnya wajah wanita itu dan mencium bibirnya cepat. Persetan dengan rasa dingin yang bisa saja membuatnya beku, dia benar-benar ingin meraih wanita itu lebih dekat lagi.

Tessa menyeringai di tengah lumatan bibir Nate. Dia tidak bisa menahan diri dari serangan memabukkan ini. Nate merengkuh tengkuknya untuk semakin memperdalam ciuman, tetapi Tessa mendorong dada pria itu.

Nate melepaskan ciuman dan menatap Tessa. Sama seperti tadi, mata wanita itu berubah merah dan taringnya muncul. Bila dia takut, Tessa pasti akan terluka. Maka disentuhnya wajah Tessa dengan telapak tangan, diusap penuh kelembutan. "I don't care who you are," ucapnya meyakinkan.

Perlahan warna merah pada mata Tessa pudar. Taringnya pun hilang. "Aku sangat berbahaya, Nate. Kau bisa kehilangan nyawamu," beritahu Tessa.

"Aku siap," jawab Nate tegas. "I love you," ucapnya bersungguh-sungguh.

Detik selanjutnya, keduanya kembali berciuman. Lebih ganas dari sebelumnya. Nate merengkuh Tessa serapat mungkin dengannya, tak ingin menyisakan jarak. Tak perduli sedingin apapun, dia pastikan mampu bertahan.

Tessa membalas setiap lumatan bibir Nate. Dia membuka mulutnya, memberi akses untuk Nate menyentuh lidahnya.

Nate tersenyum di sela ciuman panas itu, sangat senang karena berbalas.

Merasakan lidahnya dikuasai oleh hisapan Nate, Tessa kembali tak mampu mengendalikan diri. Matanya kembali berubah merah dan taringnya hendak keluar.

Dia haus...

Haus akan darah manusia.

✰✰✰

Kalian sesuka apa dengan cerita ini?

Komen di setiap bagian yang kalian suka ya, biar kerasa bapernya di mana.

Cold Women (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang