Nate mengikuti saran Lion, mencoba mendatangi tempat-tempat ramai. Dia tersiksa tentu saja, tapi sekuat tenaga mengendalikan diri. Seperti yang Lion bilang, bila Nate sampai mengeluarkan taring atau matanya berubah merah, lalu memangsa para manusia itu. Maka bersiaplah terbunuh.
"Jangan pikirkan aroma darah mereka, kau bisa alihkan perhatianmu pada hal lain." Lion tentu ikut menemani untuk berjaga-jaga.
Vampire cenderung memiliki kulit yang lebih indah dibanding manusia. Wajah tampan dan memesona. Itu sebabnya mereka menjadi pusat perhatian pasar raya.
Nate berusaha. Dia menoleh pada kincir angin yang berputar di udara. Banyak manusia naik ke sana, tertawa bahagia.
"Jangan coba-coba untuk naik wahana apapun, Nate. Kau belum bisa mengendalikan kekuatan. Ibu saja bisa menghancurkan pintu tetanggamu, bisa jadi kau akan menjatuhkan kincir angin itu."
Nate meringis, Lion tahu saja apa yang ada di kepalanya. Padahal dia snagat ingin naik itu.
"Ayo kita membeli sesuatu yang bisa dimakan." Lion mengajak Nate ke penjual daging asap. Hampir saja Nate melesat, untung Lion sangat waspada.
"Aku lupa," ucap Nate dengan santai.
"Kau itu sudah cukup lama menjadi manusia, tapi bagaimana mungkin kau bisa lupa cara-cara manusia normal, Nate?"
"Mungkin karena menjadi Vampire jauh lebih menyenangkan." Nate tercengir.
Lion mendengkus. "Kau terlihat seperti orang kaya baru yang norak," cibirnya.
Nate tertawa.
Tibalah mereka di tempat penjual daging asap. Saat menjadi manusia, Nate sangat suka jenis makanan ini, apalagi aromanya yang harum. Tapi setelah menjadi Vampire, selain aroma darah tidak ada yang lebih lezat.
"Makanlah seperti manusia," suruh Lion. "Sungguh aneh aku harus mengajari mantan manusia, agar bertingkah seperti manusia," gerutunya.
Nate menyumpit satu potongan daging, memakannya tanpa selera. Dia sampai membuat anak perempuan berusia tujuh tahun di sebelahnya melongo, mungkin karena Nate langsung memakan daging panas itu tanpa meniupnya lebih dulu. Dia pun tercengir pada anak itu, lalu mengulangi cara makan dagingnya lebih manusia. Meniup dan pura-pura kepanasan.
Lion geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba seorang wanita muncul dari arah berlawanan. Itu Tessa, bersama orang tuanya. Nate seketika berdiri, bukannya menghampiri malah bersembunyi.
Tessa terlihat sangat senang menatap ke sekeliling pasar raya yang ramai dan gemerlap. Matanya berbinar indah, hidup seperti cahaya bulan malam ini. Diam-diam Nate terus mengamati, ikut tersenyum.
"Kau sedang melihat apa?" tanya Lion.
Nate meletakkan jari telunjuk ke bibir, tidak dijawabnya pertanyaan Lion.
Lion pun mengarahkan pandangan ke Tessa. Sama seperti Nate, dia tidak bisa menghampiri wanita itu. Pertama, Tessa adalah manusia dan kedua, Tessa sudah tidak mengingat siapapun lagi. Namun melihat Tessa baik-baik saja, Lion sudah bahagia. "Dia terlihat cocok dengan perubahannya," ujarnya pada Nate.
"Sangat cantik," puji Nate dengan wajah terpesona.
Nate mengikuti pergerakan Tessa, tapi tetap bersembunyi seperti penguntit. Tak hanya Tessa, melihat orang tuanya sehat dan tertawa pun membuatnya bahagia. Mereka bertiga alasanku tetap ada di muka bumi ini.
Tessa dikelilingi oleh anak-anak berusia enam tahun yang sedang bermain kejar-kejaran. Bukannya merasa terganggu, Tessa justru tertawa lepas bersama anak-anak itu. Dia ikut melindungi anak yang dikejar, bermain seperti anak kecil. Setelah menjadi manusia, Tessa penyendiri telah berubah menjadi makhluk sosial.
"Cantik," puji Nate dengan senyum terpesona.
***
Setelah satu bulan berlatih, Nate akhirnya bisa berada di dekat manusia tanpa menunjukkan keinginan untuk menghisap darah mereka. Meski tidak seperti Lion yang benar-benar mampu bersikap santai seperti manusia, setidaknya hari ini pengendalian dirinya sudah lebih baik. Tadi, saat ada anak kecil jatuh dan lututnya berdarah, Nate mampu menguasai dirinya sendiri untuk tidak tergoda. Meski bisa saja dia menerkam anak itu dan dibawa jauh karena sedang sendirian.
"Kau siap?" tanya Lion.
Nate mengangguk. "Sudah saatnya," ujarnya penuh keyakinan.
"Ingatlah satu hal, mereka adalah orang yang sangat berarti untukmu. Setiap kali keinginan itu datang, tatap mata mereka dan bayangkan akan seperti apa mereka bila kau hilang kendali."
Nate merasakan ketakutan yang tak kasat mata. Bayangan tubuh Tessa dan orang tuanya tercabik-cabik sangatlah menakutkan. "Aku tidak akan menyakiti mereka," janjinya. Pada diri sendiri.
Anela mendekati Nate, "Tolong titipkan salamku untuknya. Segera pertemukan kami." Permintaan tulus dari seorang Ibu.
"Pasti Ibu," jawab Nate meyakinkan.
Nate pun melesat seperti angin setelah itu. Tau-tau dia sudah sampai di depan pintu rumah orang tuanya. Rasanya sedikit gugup, sehingga lebih dulu menenangkan diri sebelum akhirnya mengetuk pintu.
Cukup lama Nate menunggu, sampai akhirnya pintu itu terbuka dan seorang perempuan cantik muncul dari baliknya. "Hai Tessa," sapa Nate dengan binar mata penuh cinta.
Tessa menatap Nate begitu lekat. Bisa ditebak kepalanya sedang mencocokkan foto di rumah itu dengan pria yang kini di hadapannya. "Nate?" tanyanya sedikit ragu.
Nate tersenyum lembut. "Ya, aku Nate." Dia rasanya ingin memeluk Tessa, tapi takut wanita itu kaget. Belum lagi aroma darah di dalam tubuh Tessa sungguh terasa manis. Menahan nafas adalah satu-satunya cara agar tidak tergoda.
"Siapa Tessa?" Juliet mendatangi pintu karena penasaran. Melihat Nate, matanya berkaca-kaca. Namun bukannya memeluk, dia justru memukuli Nate dengan kedua tangan keriputnya itu. "Ke mana saja kau, brengsek?! Apa kau tidak bisa memberi kabar pada kami, sehingga kami tidak mengira kau sudah tiada?"
Nate tidak merasakan sakit sama sekali, malah dia yakin tangan Ibunya lah yang kesakitan. Sambil tertawa pelan, dipeluknya sang ibu dengan erat. "Maafkan aku, Bu. Aku sudah berusaha menghubungi, tapi di sana sangat sulit mendapatkan signal."
"Memangnya kau pergi ke hutan?!"
Ya, hutan yang mengerikan. Nate tersenyum pada Tessa yang diam saja dan terlihat grogi. Akhirnya dia bisa merasakan punya kekasih seorang manusia normal.
"Masuklah, Ayahmu memasak sesuatu yang lezat hari ini."
"Aku sudah makan, Ibu."
"Mau kupukul lagi?" Juliet mengangkat tangannya.
"Baiklah aku makan." Nate tertawa. Dia dirangkul masuk oleh sang Ibu, melewati Tessa yang masih mematung.
"Tessa, ayo kau masuk juga. Kita makan bersama," panggil Juliet.
"Baik, Ibu." Tessa buru-buru menutup pintu. Sebelum ke ruang makan dia memandang foto pria berjas hitam di atas buffet, rasanya ada yang berbeda dengan sosok Nate yang sekarang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cold Women (SELESAI)
VampireWarning: Banyak adegan dewasa di dalamnya (Adult romance) Tessa Volta, dia adalah Mahasiswi yang sangat sulit didekati, sehingga mendapatkan predikat Anti Sosial. Cantik, berkulit putih dan sedingin es. Meski tidak memiliki teman, Tessa merasa hidup...