Chapter 23. Kediaman Hawkins

3.4K 504 33
                                    

Setelah meminum banyak darah segar, Nate akhirnya jinak. Ingatannya belum kembali sepenuhnya, tapi wajah Tessa mulai samar-samar terlihat di benaknya. Meski masih haus akan darah, Nate mulai bisa mengendalikan diri. Hanya saja ketika dia melihat para pengabdi yang merupakan manusia, dia tidak tahan ingin memangsanya. Tapi untungnya, Nate mengurungkan niat itu ketika mencium aroma Vampire dari denyut nadi pengabdi itu.

"Lapor Raja, mata-mata kita mengirim pesan sebelum tewas. Kerajaan Marlis akan menyerang kita malam ini. Ada banyak pasukan yang mereka bawa, bila dijumlahkan maka kita akan kalah." Menteri peperangan melaporkan.

Raja Volta tertawa. "Kenapa kau harus cemas. Kalaupun mereka menyerang kita saat ini juga, kita sudah siap. Mereka tidak tahu kalau satu vampire saja sudah cukup untuk memusnahkan segalanya." Dia menoleh pada Nate yang sedang mengendus-endus para pengabdi.

"Apa Raja yakin dia tidak akan berbalik menyerang kita juga nantinya?" tanya sang menteri cemas.

Detik yang sangat cepat Nate sudah mencekik menteri tersebut, menyeringai memamerkan taringnya. "Kau ingin aku habisi?" tanyanya dengan intonasi yang berat.

"A-aku minta maaf." Menteri itu sontak ketakutan. Dia mundur beberapa langkah saat dilepaskan, sangat takut pada Nate.

Jangankan menteri, Raja Volta saja masih harus menjaga ucapannya bila tidak ingin dimakan oleh vampire baru itu. "Nate, aku menyerahkan tugas besar padamu untuk menghabisi semua pengikut Marlis. Bukankah kau sangat ingin melampiaskan penderitaan Tessa pada mereka?" pancingnya.

Wajah Nate kembali menyeringai, dia mengerang seperti singa. "Aku ingin menghabisi mereka semua sekarang!" teriaknya.

"Tenanglah, mereka yang akan datang mengantarkan nyawa padamu. Kau tinggal menunggu saja." Raja Volta tersenyum licik.

Dari kejauhan, Lion bisa melihat jelas apa yang Ayahnya itu rencanakan. Nate pasti akan dibunuh setelah keinginannya terwujud. Karena setelah menyerang banyak vampire, kekuatan Nate akan perlahan memudar seperti vampire biasa pada umumnya. Seluruh ingatannya tentang pernah menjadi manusia pun akan kembali dan semakin melemahkannya.

Nate mengibas jubahnya dan duduk di singgasana Raja. Dia sudah seperti penguasa bangsa Vampire yang sangat disegani. Bahkan Raja Volta rela turun dari kursinya itu demi membuat Nate tetap tenang.

"Aku ingin kalian tidak ikut campur. Aku akan melawan mereka sendirian." Nate memerintah.

Raja Volta tertawa menyambut ucapan Nate itu. "Kau tenang saja, Nate. Kami semua akan ada di belakangmu. Hancurkan kerajaan Marlis, rebut tahta kesombongannya selama ini." Bagai sedang mengutarakan keinginan diri sendiri.

Lion dan Ratu Anela saling lirik, mereka tahu persis kalau Nate sedang dimanfaatkan.

***

Tessa mengamati deretan foto di atas buffet rumah keluarga Hawkins. Sangat suka dengan kehangatan yang tergambar dari pose-pose di foto itu. Dia yakin keluarga ini sangat harmonis dan penuh kasih sayang.

"Ini Nate," beritahu Juliet sembari mengangkat bingkai berisi foto balita laki-laki yang sedang memakan cokelat.

"Dia lucu sekali," puji Tessa.

"Menyebalkan setelah dewasa," kekeh Juliet sambil menaruh foto itu kembali.

"Apa dia pernah bercerita tentangku?" tanya Tessa sambil memandang foto seorang laki-laki yang tengah memakai jas berwarna hitam. Tidak tersenyum ke arah kamera, seakan dipaksa untuk berfoto.

Juliet membawa Tessa untuk duduk di sofa, memperlakukannya dengan begitu lembut. Seakan-akan Tessa ini rapuh dan mudah pecah bila disentuh terlalu kuat. "Pertama kali dia memberi tahu tentangmu, aku bisa mendengar letupan api yang meledak-ledak dari caranya bicara. Semua yang dia katakan adalah tentang memujimu. Kami tidak pernah melihat Nate jatuh cinta sampai seserius itu." Juliet membelai rambut Tessa dengan lembut.

"Nate tidak bercerita siapa keluargaku?"

"Kami pernah bertanya dari mana asalmu, siapa keluargamu, tapi Nate bilang itu rahasia."

"Kenapa rahasia?"

"Entahlah, dia memang aneh."

Mendengar itu Tessa pun tertawa geli. "Kalian belum pernah bertemu denganku sebelumnya?"

"Kami pernah minta Nate membawamu ke sini, tetapi dia bilang kau itu sedingin gunung es. Kami tidak akan tahan dan menggigil. Sekarang aku tahu kalau dia ternyata membual." Tawa Juliet terdengar renyah.

Tessa ikut tertawa.

"Apa yang dia katakan sehingga kalian datang di saat yang sangat tepat?" tanya Tessa kembali. Banyak hal yang membuatnya sangat penasaran, dia ingin tahu segalanya untuk memuaskan rasa penasarannya.

"Nate menelepon kami, terdengar sangat terburu-buru ..."

"Ibu, bisa kau bantu aku?" tanya Nate tergesa-gesa.

"Ada apa, Nate? Apa yang terjadi?"

"Datanglah ke apartemenku dan temui Tessa. Bawa dia bersamamu. Dia sedang sakit, aku tidak bisa menjaganya."

"Memangnya kau mau ke mana?"

"Aku akan pergi, tidak lama. Tapi tolong lakukan apa yang kuminta tadi. Jaga dia sampai aku kembali. Jangan biarkan dia pergi ke manapun selama aku tidak ada."

"Ba-baiklah. Tapi Nate ..."

Tut. Tut. Tut.

"Kami langsung datang ke sana setelah itu. Kami tidak tahu kalau kau kehilangan ingatan, Nate hanya bilang kau sedang sakit. Itu sebabnya kami sempat bingung dan mengira kau orang lain yang mungkin saja tersesat."

Tessa menghela nafas lega. "Terima kasih Mrs. Hawkins," ucapnya dengan tulus.

"Panggil aku Ibu," potong Juliet sebelum Tessa melanjutkan ucapannya.

Relung hati Tessa terasa hangat. Kekosongan jiwanya terisi setelah Juliet mengatakan itu. "Ibu ..." panggilnya.

Juliet langsung memeluk Tessa. "Anggap aku Ibumu. Dan akhirnya aku memiliki anak perempuan." Dia menitikkan air mata haru.

"Ayo ladies, makan malam sudah siap." Owen datang dengan celemek di tubuhnya, kepalanya pun memakai topi ala-ala chef.

"Ayo, kau pasti lapar," ajak Juliet.

Sekali lagi, Tessa memandang foto pria berjas itu. Rasa-rasanya dia memang tidak merasa asing.

***

Cold Women (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang