Tinggal bersama orang lain ternyata tidak seburuk yang Hyungwon bayangkan. Dia tak perlu membereskan apartemen karena Wonho yang melakukannya duluan, dia juga tidak pernah telat berangkat kerja lagi karena setiap pagi lelaki itu mengetuk pintu kamar untuk membangunkannya.
Mereka tidak banyak berinteraksi lantaran Hyungwon menghabiskan lebih dari sepertiga harinya di kantor, dan ia tidak keberatan akan hal itu, dia tidak memiliki niat berbicara dengan Wonho.
Semua terasa normal sampai suatu sore Wonho memutuskan untuk menghampiri Hyungwon yang duduk di balkon sambil memandangi matahari tenggelam.
"Sunset and a cup of tea? God, Hyungwon you are so boring!"
"And what's the problem?"
Bukan pertama kali Hyungwon menerima komentar bahwa dirinya membosankan, tapi dia tidak suka jika orang asing yang mengatakannya.
Memangnya Wonho tahu apa? Mereka bahkan tidak mengetahui nama lengkap satu sama lain, bisa-bisanya dia berbicara kasual kepada Hyungwon dan bertingkah seolah mereka adalah teman dekat.
Wonho memutar 'The Four Seasons' dari ponselnya, membuat Hyungwon mengerutkan dahi. Dia tidak terlalu mengerti mengenai musik klasik, namun siapa yang tidak kenal Antonio Vivaldi?
"Nah, sekarang berasa kayak lagi di Eropa," canda Wonho.
Menyadari bahwa Wonho sedang mengejeknya, Hyungwon mendengus. Salah satu alasan mengapa dia benci bersosialisasi adalah karena ia malas mendengar komentar orang lain.
Tidak mendapat respons yang ia inginkan, Wonho beralih menatap laki-laki di sampingnya. "Hyungwon, talk to me."
"Apa?"
"Kita tinggal satu atap, bukannya aneh kalau ga saling kenal?"
"Nggak aneh kok," ucap Hyungwon tak acuh.
"Please, Hyungwon. I want to get to know you."
Setelah Wonho mengatakan kalimat tersebut, Hyungwon hanya bisa menaikkan sebelah alisnya.
"We can be friends, right?"
"Oke," Hyungwon menyandarkan punggung pada kursi. "Lagipula kita bakalan bareng selama tiga bulan. Gak ada salahnya berteman."
Wonho tersenyum puas, "Akhirnya gue denger lo ngomong lebih dari satu kalimat."
Hyungwon tidak sempat membalas perkataan Wonho karena interkom apartemennya berbunyi. Dia segera beranjak menuju pintu, maninggalkan Wonho yang masih berada di balkon.
"Unit 1501?" ujar suara dari seberang interkom.
"Ya?"
"Ada paket atas nama Lee Hoseok."
"Maaf, sepertinya anda salah kamar. Di sini tidak ada yang namanya Lee Hoseok," jawab Hyungwon. Apartemen ini terdiri dari tiga gedung dan terdapat ratusan kamar. Tidak heran jika pengantar barang kebingungan dan mengira tower A, B, C tidak ada bedanya.
"Tapi di sini ditulis gedung C, unit 1501."
"Oh iya, itu punya saya," sahut Wonho yang muncul tiba-tiba. Untung saja suara Hyungwon dapat terdengar dari balkon, kalau tidak, mungkin paketnya akan mendarat di tangan yang salah.
"Sejak kapan nama Wonho bisa jadi Hoseok?" tanya Hyungwon selepas sambungan interkom diputus.
"Wonho tuh nama panggilan."
"Hoseok and Wonho are not even close??"
"Lo pikir kalau nama gue Hoseok, berarti nickname gue seharusnya apa? Leeho? Seoklee?"
Hyungwon tertegun, kenapa dia mesti peduli dengan nama Wonho? Terserah dia mau dipanggil apa, jelas-jelas itu bukan urusannya.
"Lo pasti ga punya nama panggilan selain Hyungwon, want me to make one for you?" kata Wonho seraya menyunggingkan senyum di bibirnya.
"No, thanks. Hyungwon lebih enak didenger."
"Padahal gue ada beberapa nama yang kayaknya cocok buat lo. Wonnie? Bubbles? Angel? Gorgeous?" Wonho menjeda ucapannya sejenak untuk melihat ekspresi Hyungwon, "Atau.. My love?"
Hyungwon menggelengkan kepalanya tak habis pikir, "Sinting."
KAMU SEDANG MEMBACA
between daylight and darkness | hyungwonho ✔️
Short Storyhyungwon membutuhkan uang, sehingga dia terpaksa menyewakan kamar tamu apartemennya kepada orang asing.