"Lantai tiga, kamar nomor 301," monolog Hyungwon sambil memeriksa tulisan yang tertera di ponsel.
Sesampainya di depan kamar yang ia tuju, Hyungwon terdiam selama beberapa detik, ragu untuk mengetuk pintu. Apakah Wonho ada di dalam? Bagaimana jika dia tidak ingin melihatnya?
Mungkin tidak sekarang, pikir Hyungwon lantas membalikkan badan, dia akan datang ke sini lain waktu, saat dia sudah siap.
Tiba-tiba pintu tersebut terbuka, menampilkan sosok Wonho yang menenteng dua kantung plastik di tangannya. "Hyungwon?"
Hyungwon menggerakkan ujung kakinya gugup. Kenapa Wonho keluar di momen yang tidak tepat?
"Ah sebentar, gue mau buang ini dulu, abis itu kita bicara," kata Wonho kemudian berjalan menuju tempat sampah berukuran besar di ujung lorong.
Tak lama berselang, Wonho kembali dan mempersilakan Hyungwon memasuki flatnya.
Tempat tinggal Wonho tidak terlalu luas, tapi juga tidak sempit, lebih seperti kamar tidur dengan dapur dan toilet di dalam. Kalau dibandingkan apartemen Hyungwon, kira-kira besarnya seperempat atau seperlimanya.
Di sebelah kiri pintu masuk terdapat kamar mandi, dan di samping kanan merupakan dapur. Hanya ada karpet dan satu kasur tanpa ranjang di tengah ruangan, tidak ada sofa ataupun televisi. Satu-satunya cahaya berasal dari jendela kaca berukuran besar yang mengarah ke balkon.
Wonho menggaruk tengkuknya, "Maaf berantakan. Lo duduk di tempat tidur aja, gue di karpet."
Hyungwon menurut, dia melemparkan pandangan ke penjuru ruangan, seolah tertarik dengan flat Wonho. Padahal kenyataannya dia sedang menutupi kecanggungan.
Mereka tidak berinisiatif membangun pembicaraan, bahkan Wonho menghindari tatapan Hyungwon. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu, mereka menjadi semakin awkward.
Dua minggu terakhir, Hyungwon benar-benar kacau, dia kurang tidur dan tidak nafsu makan. Pikirannya terus mengarah kepada Wonho. Dia tidak mengerti mengapa Wonho tidak mengirimkannya pesan, namun dia gengsi untuk menghubungi terlebih dahulu.
Tak tahan dengan keheningan yang menyesakkan, Hyungwon angkat bicara. "Abis pindah, lo ga ada kabar."
Wonho memiringkan kepalanya sedikit dan memasang ekspresi bingung, "Gue kira lo ga mau berhubungan lagi sama gue."
"Kenapa lo mikir gitu?"
"You turned me down, remember?"
"I didn't!"
"You did."
"Hoseok, listen," Hyungwon menegakkan duduknya dan menatap mata Wonho, "Setelah berhari-hari ga ketemu, gue mulai menyadari sesuatu."
"Apa?"
"I think.. I do have feelings for you," Hyungwon meringis, merasa geli akan perkataanya sendiri. Dia bukan tipikal orang yang mau mengungkapkan perasaan, dan ia mati-matian menyingkirkan egonya, demi Wonho.
"Oh ya?" Wonho menaikkan sebelah alis, dia tidak dapat menyembunyikan seringai dari wajahnya.
"Yeah, at least a little."
"Oke."
Hyungwon mengerutkan dahi, "Gue memberanikan diri buat ngomong, dan tanggapan lo cuma satu kata?"
"Terus lo maunya gue bilang apa?"
"You don't like me back?" tanya Hyungwon, ada nada kecewa yang terselip dalam intonasi suaranya.
Wonho tersenyum. Dia tidak berniat menjawab lewat kata-kata dan memilih untuk bertindak.
Demi tuhan, Wonho merindukan Hyungwon, sampai-sampai ia sulit berpikir jernih. Dua minggu ini sangat menyiksanya, dia sering bermimpi tentang Hyungwon, membayangkan wajahnya, mengulang-ulang suaranya dalam ingatan, dan saat mendapati kehadiran lelaki itu di hadapannya, dia sudah tidak bisa menahannya lagi.
Perlahan, Wonho bergerak menghampiri Hyungwon. Ketika jarak antara mereka semakin menyempit, tanpa sadar, Hyungwon melingkarkan kedua lengannya di leher Wonho, menariknya mendekat, mengisyaratkan bahwa ia tidak sabar menerima sentuhannya.
Deru napas Wonho mengenai permukaan kulit Hyungwon. Dia bergidik, menikmati sensasi luar biasa yang membuatnya hampir hilang kewarasan. Tangan Wonho menyusup ke bawah kausnya, mengeksplor seluruh tubuh bagian atas Hyungwon dan memastikan tidak ada satu pun yang luput dari jangkauannya.
Hyungwon menggigit bibir kala menyadari jemari Wonho meraba area sensitifnya. dia mengembuskan napas berat dan berusaha menahan diri untuk tidak meloloskan suara dari mulutnya.
Selagi Wonho menciumi lehernya, Hyungwon menggunakan kesempatan tersebut untuk melepas pakaian yang dikenakan laki-laki itu, dan melemparkannya ke sembarang arah. Kini giliran Hyungwon yang menelusuri setiap detail tubuh Wonho, merasakan otot-otot sempurna hasil dari kerja kerasnya.
Semua terjadi dalam ritme yang pas, tidak tergesa-gesa. Seakan keduanya ingin menikmati momen ini dan menyimpannya dengan baik dalam memori.
Situasi mereka sekarang benar-benar gila, tapi Hyungwon tak peduli. Masa bodoh apa yang terjadi nanti, dia akan menanggung risikonya.
Wonho menghentikan kegiatannya sejenak untuk berbisik di telinga Hyungwon, "How do you like your eggs in the morning?" ujarnya dengan suara rendah yang mampu membuat kaki Hyungwon mendadak lemas.
"I prefer cereal over eggs, to be honest," ucap Hyungwon sebelum mendorong Wonho hingga punggungnya menabrak tembok, and kissed him as passionate as possible.
ㅡ end ㅡ
KAMU SEDANG MEMBACA
between daylight and darkness | hyungwonho ✔️
Short Storyhyungwon membutuhkan uang, sehingga dia terpaksa menyewakan kamar tamu apartemennya kepada orang asing.