"Aileen! Kemari nak, ayo kita pulang. Ini sudah sore." Wanita cantik beranak satu itu memanggil anak perempuannya dengan lembut.
Hari sudah sore, matahari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Gadis kecil yang masih polos itu berlari menghampiri ibunya. Dia meninggalkan mainan yang dia buat dari botol-botol bekas yang ada di sekitar pabrik.
"Kamu menunggu lama ya, nak?" Wanita itu bertanya sambil mengelus kepala anak perempuannya. Tidak lupa dia mengelap ingus yang sudah tersebar hingga ke pipi anak perempuan tersebut.
Aileen mengangguk. Anak kecil berusia lima tahun itu hanya bisa merentangkan kedua tangannya yang langsung disambut oleh sang ibu.
"Aduh, kamu makin berat!"
"Maaf ya, udah buat kamu nunggu lama." Sang ibu langsung memeluk anak perempuannya dengan erat. Terkadang ada rasa bersalah ketika dia keluar dari pabrik dan melihat anaknya sedang bermain sendirian.Dia belum punya uang untuk memasukkan anaknya ke taman kanak-kanak, apalagi menyewa pengasuh anak.
"Sabar ya, nak. Tunggu uang mama cukup untuk beli seragam kamu." Tanpa disadari air mata wanita itu menetes. Hatinya sakit melihat wajah anaknya yang kotor karena debu pasir.
"Mama, kok nangis?" Gadis polos itu malah ikut menangis melihat ibunya menangis. Suara tangisan anak perempuan itu sangat keras hingga membuat orang yang sedang lewat menatap ke arahnya.
"Hahaha! Jangan nangis. Kita beli makanan saja sekarang!" Wanita itu memeluk anak perempuannya dengan erat lalu segera mencari rumah makan.
●●●
"Ini. Pegang makanannya, nak." Clara—sang ibu, memberikan bungkusan makanan kepada Aileen. Lalu dia meraba kantongnya untuk mencari uang yang ada.
Clara terlihat panik ketika menyadari uangnya hanya tersisa dua puluh ribu. Sementara total makanan yang dia beli adalah tiga puluh ribu. Salah dia memang, memesan makanan dengan lauk daging. Tetapi karena dia melihat anaknya sangat tertarik melihat daging yang terpajang, dia ingin membelikannya kepada putrinya.
"Bu, boleh utang sepuluh ribunya? Uangnya kurang ini." Clara berujar sambil menunjukkan selembar uang pecahan dua puluh ribuan.
Si ibu pemilik rumah makan tampak menghela napasnya. Bukan sekali dua kali Clara berhutang kepadanya. Hutangnya yang kemarin saja belum kunjung dibayar.
"Minggu depan saya gajian kok, bu. Saya pasti bayar. Saya 'kan sudah langganan di sini." Clara mencoba membujuk si ibu pemilik rumah makan ketika melihat ekspresi pemilik rumah makan itu tampak tidak suka melihat dirinya.
"Lain kali, kalau tidak punya uang, jangan sok untuk membeli lauk yang enak. Iya sih dibayar. Tapi sekarang rumah makan lagi sepi, kalau gini, modal untuk besok apa?" Si ibu pemilik rumah makan malah memaki Clara. Clara hanya bisa terdiam sambil menatap anak perempuannya yang terlihat menatap bungkusan makanan yang dipegangnya. Anaknya tampak tak sabar untuk segera makan.
"Maaf bu." Clara hanya bisa mengatakan hal seperti itu.
Ibu pemilik rumah makan itu menghela napasnya. Dia menerima uang yang disodorkan untuk membayar makanan yang dia beli lalu memasukkannya ke laci tempat penyimpanan uangnya. Tak sengaja matanya melihat Aileen yang tampak tidak sabar untuk makan. Padahal badan anak perempuan itu sangat kotor.
"Ya sudah." Si ibu pemilik rumah makan kembali membuka tempat penyimpanan makanan yang dia jual.
"Makasih bu. Saya janji, bakal saya bayar setelah gajian." Clara tersenyum senang lalu menggandeng anak perempuannya agar segera pergi.
Baru beberapa langkah, si ibu pemilik rumah makan kembali memanggilnya.
"Hei!"Clara membalikkan badannya dengan gugup.
"I-iya, bu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AILEEN (Revisi)
Teen FictionTidak ada yang spesial dari cerita ini. Cerita ini sama seperti kebanyakan cerita masa SMA lainnya, dimana ada rasa kebersamaan hingga rasa kecewa kepada teman. Bercerita tentang Aileen, seorang gadis piatu yang ayahnya sendiri tidak dia kenali. Ail...