4. Sahabat Baru

715 47 0
                                    

Setengah tahun berlalu sejak Aileen ditinggal pergi oleh Clara. Saat ini dia sudah tinggal bersama bibinya di rumah bibinya. Hal tersebut yang membuat Diaz sedikit kesulitan untuk menemui Aileen. Diaz juga belum bisa mengendarai motor, jadi sepeda adalah satu-satunya alat agar dia bebas pergi ke rumah Aileen.

Sudah enam bulan berlalu. Tidak terasa. Awalnya memang sangat berat bagi kedua anak itu. Tetapi seiring berjalannya waktu, mereka berdua menjadi terbiasa dengan kepergain sang ibu. Sama seperti kepergian Aksa mereka dulu.

Karena jarak rumah Diaz dan tempat tinggal Aileen yang baru itu jauh. Setidaknya memakan waktu yang cukup lama jika berjalan kaki, Diaz akhirnya berinisiatif untuk membeli sepeda. Tidak tanggung-tanggung, dia membelikannya juga kepada Aileen.

Biasanya, setiap sore, Diaz akan melajukan sepedanya ke rumah bibi Aileen, dan mengajak Aileen untuk berkeliling bersepeda bersama. Itu kebiasaan baru mereka. Jika terlalu larut bagi Diaz untuk pulang, Diaz akan menginap di rumah Bibi Marni.

"Aileennya mana, bi?" Diaz turun dari sepedanya dan memarkirkannya tepat di depan teras rumah Bibi Marni. Lelaki itu membawa tas gendong berwarna hitam yang cukup besar. Tas itu berisi baju, dan buku untuk dia pergi ke sekolah besok.

"Ada, di dalam. Lagi tidur." Marni yang kebetulan sedang membaca majalah di teras rumah, langsung menyambut kedatangan Diaz.

"Kamu mau nginap di sini lagi?" Marni bertanya ketika dia melihat tas yang digendong Diaz di punggungnya.

Diaz menunjukkan cengirannya.
"Hehehe, iya bibi."

"Ya sudah, masuk dulu. Letakkkan tas mu di kamar." Marni memberi instruksi. Diaz mengangguk sekali lalu masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk, lelaki itu melepaskan sepatunya terlebih dahulu.

Melihat Diaz sudah masuk, Marni hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.
"Anak orang kaya, tetapi seperti orang tidak punya rumah," monolog Marni sambil menatap punggung Diaz yang berjalan menjauhi dirinya.

Tetapi tidak bisa disangkal oleh Marni. Wanita itu senang dengan keberadaan Aileen dan Diaz di rumahnya. Walau kedua anak itu sangat ribut karena sering adu mulut dalam banyak hal, dia tetap senang mendengar keributan itu. Belasan tahun dia hidup sendiri dalam keheningan di rumah itu. Sekarang rumah itu tampak hidup dengan keberadaan Aileen dan Diaz di dalamnya.

●●●

"Woy! Kebo! Bangun!" Diaz menendang bokong Aileen yang sedang tidur terlungkup.

"Nghh?" Bukannya bangun Aileen malah membalikkan badannya.

"Memang dasar kebo!" Dia mendengus kesal. Membangunkan Aileen hampir mirip rasanya dengan menjelaskan kepada orang-orang bahwa tidak ada yang berhasil dari hubungan virtual, ldr, dan lainnya. Sangat susah dan membangkitkan emosi.

Diaz menghela napasnya terlebih dahulu. Sejak kepergian Clara, Aileen memang menjadi sering tidur. Dulu seingatnya, Aileen jarang tidur siang. Sebulan sekali sudah bisa dibilang rajin. Sekarang, setiap hari sahabatnya itu pasti tidur siang.

"AILEEN JOVANKA ANINDIRA!" Diaz berteriak tepat di telinga Aileen. Suaranya yang besar langsung sukses membuat mata Aileen terbuka lebar. Lalu sedetik kemudian, dia mendapat tinju pada pipinya dan tendangan di perutnya.

"Kurang ajar, ya lo! Kebiasaan banget, sih!" Aileen mengusap telinganya yang sakit. Bahkan masih berdengung.

Diaz mengaduh kesakitan.
Lelaki itu bangkit berdiri karena sebelumnya dia tersungkur yang diakibatkan oleh tendangan Aileen.

"Lo kok susah banget sih dibangunin?" Diaz malah mengoceh sambil mengusap-usap perutnya.

Aileen tidak menjawab atau menyahuti ocehan Diaz. Gadis itu malah bangun dari tidurnya dan mengusap-usap wajahnya. Tak lupa dia merapikan rambut panjangnya menggunakan jari tangannya.

AILEEN (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang