Keesokan harinya, hari Selasa.
Aileen kini tiba lebih cepat dari hari-hari sebelumnya. Dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya."Ish! Kok lo bisa ninggalin gue, sih?" Diaz tiba di kelas dan menggebrak meja Aileen. Dadanya naik turun.
"Gue nggak ninggalin, lo. Emang mau cepet aja." Aileen berdiri dari bangkunya.
"Lo udah sarapan?" Aileen bertanya kepada Diaz.
"Nggak lah, rencananya mau di rumah lo. Tapi Bibi Marni bilang lo udah berangkat ke sekolah. Yah, gue langsung pergi ke sekolah." Diaz meletakkan tasnya di atas kursi.
"Udah gue duga. Padahal pelayan di rumah lo, nggak mungkin nggak masak." Aileen membuka tas sekolahnya dan mengambil satu kotak makan.
"Nih, buat lo. Gue buat subuh tadi." Aileen memberikan kotak makan tersebut kepada Diaz.
"Apa nih?" Diaz langsung membuka kotak makan tersebut. Matanya membulat melihat ada brownis di dalamnya.
"Gue buat tadi. Sekalian sama Vira dan Luna. Juga sama si Alion. Gue mau minta maaf." Aileen mengambil dua kotak lagi dari dalam tasnya untuk ditunjukkan kepada Diaz. Lalu setelahnya dia masukkan ke dalam laci mejanya.
"Kok aneh?" Diaz bertanya.
"Aneh kenapa?" Aileen bertanya bingung.
"Itu, dua kotak lainnya pada gede semua. Lah gue? Kok sejengkal gini." Diaz memperhatikan kotak makannya.
"Setan, gue udah buat dengan sepenuh hati. Lagian lo mikirlah, nggak mungkin permintaan maaf gue, gue kasih seuprit. Porsi untuk Luna dan Vira juga nggak mungkin sama, sama punya lo!" Aileen menjelaskan panjang lebar.
"Iya deh, iya!"
"Tapi ini bisa dimakan nggak?" Diaz tersenyum jahil."Dih! Kalo nggak mau, sini! Biar gue makan." Aileen merampas kota makan yang ada di tangan Diaz. Padahal dia sudah menantikan bagaimana reaksi sahabatnya itu dengan brownis buatannya.
"Eh, jangan dong! 'Kan udah dikasih!" Diaz mengangkat kotak makan itu tinggi-tinggi, hingga tak terjangkau Aileen.
"Makanya! Lo bisa nggak sih, ngehargain masakan gue. Nggak usah ngehargain deh, makan nggak perlu banyak komentar, udah cukup!" Aileen berkacak pinggang.
Diaz menahan senyumnya.
"Si cebol, ternyata udah mulai feminim. Baguslah!""Anjing!" Aileen meninju bahu Diaz.
Diaz terkekeh. Lelaki itu mengambil satu potong brownis dan memasukkannnya ke dalam mulutnya. Aileen menunggu reaksi Diaz.
"Kurang manis." Diaz berkomentar.
"Hah? Betulan?" Aileen berujar panik. Dia memang belum mencoba brownisnya karena dia ingin Diaz yang mencobanya terlebih dahulu.
"Iya. Manisnya udah diambil sama lo, sih!"
"Hah?"
Aileen tak paham maksud Diaz. Jadi sebenarnya brownisnya itu kurang manis atau pas manisnya?"Udah deh, gue lupa kalo lo itu bolot!" Diaz mendengus. Ingat hati ingin menggombal, eh yang mau digombalin ternyata lola alias loading lama.
"Jadi sebenarnya kemanisan atau gimana?" Aileen berseru ketus.
"Pas kok. Enak lah!" Diaz menjawab dengan ketus juga.
"Nah, itu kek. Nggak usah buat bingung." Aileen kembali duduk di bangkunya.
"Makin besar, bukannya makin cepat tanggepnya, ini malah makin bolot!" Diaz memasukkan satu potong brownis terakhir dan menutup kotak makannya. Mulutnya sudah menggembung karena terisi penuh oleh brownis.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILEEN (Revisi)
Teen FictionTidak ada yang spesial dari cerita ini. Cerita ini sama seperti kebanyakan cerita masa SMA lainnya, dimana ada rasa kebersamaan hingga rasa kecewa kepada teman. Bercerita tentang Aileen, seorang gadis piatu yang ayahnya sendiri tidak dia kenali. Ail...