Ketika masuk SMP, Aileen dan Diaz lagi-lagi bersekolah di tempat yang berbeda. Aileen terpaksa sekolah di sekolah negri, karena ibunya tidak punya cukup uang. Sementara Diaz yang berlimang harta, disekolahkan ayahnya di salah satu sekolah terbaik di kota itu.
Hubungan pertemanan Aileen dan Diaz masih terjalin dengan erat. Bahkan jika dikatakan, mungkin sangat erat. Terkadang hanya saling menatap saja, mereka sudah tahu harus berbuat apa. Dua orang itu sudah seperti terikat batinnya.
"Gue kadang heran, ya Leen." Diaz memulai pembicaraan. Sepasang manusia itu sedang berjalan bersama. Mereka sedang menuju rumah Aileen, karena memang sudah jam pulang sekolah.
"Heran kenapa?" Aileen menoleh ke arah Diaz sambil kakinya terus melangkah maju.
Sekolah Diaz dan sekolah Aileen tidaklah dekat. Cukup jauh, tetapi melewati jalan yang sama. Sekolah Diaz akan dijumpai pertama sekali, lalu maju terus baru dapat sekolah Aileen.
Biasanya setiap pulang sekolah, Aileen akan duduk di depan sekolah Diaz sambil memakan jajanan yang dijual di sana. Sekolahnya keluar lebih awal daripada sekolah Diaz. Dia selalu menunggu ditemani abang-abang penjual sambil memakan jualan si abang-abang. Lalu setelah melihat lelaki itu keluar, dia akan menghampiri Diaz dan memalak uang anak laki-laki itu untuk membayar jajanan yang dia makan.
"Lo kok nggak tau malu sih? Selalu malak uang gue?!" Diaz bisa sebal juga jika uangnya terus dipalak oleh Aileen untuk membayar makanan Aileen. Padahal di kantongnya ada puluhan lembar uang yang pastinya tidak akan ada pecahan lima ribuan di dalam sana. Apalagi pecahan dua ribuan.
"Dih! Pelit lo!" Aileen langsung menyahut dengan cepat.
Diaz hanya diam saja. Dia melihat Aileen dengan penampilan yang acak-acakan. Seragam sekolah sudah terbuka yang memperlihatkan kaos yang sengaja dipakai Aileen. Roknya sudah tidak ada, diganti dengan celana olahraga yang panjangnya mencapai mata kaki. Jangan lupakan rambut Aileen yang dikuncir kuda. Terkadang Diaz meragukan jenis kelamin Aileen.
Hanya karena rambut panjang Aileen, sedikit menyadarkan Diaz bahwa sahabatnya itu adalah perempuan.Padahal Diaz tidak ada bedanya. Memang dasar lelaki itu yang suka berkomentar tanpa bercermin. Seragamnya sudah tidak rapi. Baju yang tidak bulus dalam, dasi yang hilang entah ke mana, dan jangan lupakan rompi yang juga hilang entah ke mana. Hanya menyisahkan seragam putih dan celana biru yang mencapai lutut saja.
"Tapi 'kan, Az!" Akhir-akhir ini ada yang mengganjal dipikiran Aileen.
"Apa?" Diaz menyahuti.
"Gue nggak ikutan lagi deh belajar karatenya sama lo." Memang sampai sekarang mereka masih belajar karate dengan guru yang lebih baik lagi. Mereka sudah sabuk hitam sekarang. Dan mungkin itu sudah cukup hebat untuk membela diri sendiri.
"Lho? Kenapa?" Diaz memusatkan perhatiannya kepada Aileen. Apa dia tidak nyaman dengan guru karate yang baru? Atau bagaimana?
"Sabtu sama Minggu, gue mau kerja. Tapi jangan bilang-bilang ke mama! Awas aja, kalo lo ngadu!" Aileen mengatakannya dengan serius. Tidak sekali dua kali dia ketahuan ibunya bekerja. Dan yang pasti, dia selalu dimarahi ketika ketahuan.
"Hah? Kok lo nyari kerja? Perasaan kalo mau jajan, uang gue yang lo palak!" Diaz sedikit bercanda. Tetapi melihat Aileen menghela napasnya, Diaz tidak berani untuk bercanda lagi. Dia tahu waktu di mana bercanda dan di mana serius.
"Gue nggak mau ngerepotin mama gue lagi." Aileen menunduk. Dia menatap kakinya yang sedang melangkah.
Diaz mendekat ke arah Aileen. Jarang-jarang sahabatnya ini mengeluh. Apalagi curhat seperti ini kepadanya. Sekalinya curhat, itu tanda bahwa Aileen memang sangat butuh berbagi beban.
Mereka sudah kelas tiga SMP sekarang. Sudah bisa melihat keadaan sekitar dan memperhatikan apa yang kurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILEEN (Revisi)
Teen FictionTidak ada yang spesial dari cerita ini. Cerita ini sama seperti kebanyakan cerita masa SMA lainnya, dimana ada rasa kebersamaan hingga rasa kecewa kepada teman. Bercerita tentang Aileen, seorang gadis piatu yang ayahnya sendiri tidak dia kenali. Ail...