19. Masih Ingat

558 39 3
                                    

"Sampai di sini pertemuan kita, ya. Jangan lupa, tugas kelompoknya bakal ibu periksa minggu depan." Ibu Nadia—guru seni mengakhiri pelajaran mereka.

"BAIK BU!" Seluruh murid menyahuti dengan lantang.

"Ingat! Ibu kasih waktunya satu minggu, ya. Buat kelompok bernyanyi kalian. Minggu depan kalian pertunjukkan kepada ibu. Buat sekreatif mungkin." Ibu Nadia mengingatkan lagi.

"Satu kelompok minimal 3 orang, maksimal 7 orang. Kalau ada kurang atau lebih, kalian boleh beritahu ibu alasannya." Ibu Nadia tersenyum sambil merapikan barang-barangnya.

"BAIK BU." Satu kelas menyahuti dengan kompak lagi.

"Ya sudah kalau begitu."
"Ketua kelas, beri salam."
Ibu Nadia berjalan ke tengah. Dia berdiri menatap seisi kelas.

"BERDIRI!" Jidan—si ketua kelas memberikan arahan.
Satu kelas berdiri tegap mengikuti arahan yang diberikan Diaz.

"BERI SALAM!"

"TERIMA KASIH BU!" Satu kelas mengucapkannya dengan lantang.

Hening sejenak. Ibu Nadia menatap seisi kelas, lalu setelah itu tersenyum manis.
"Baiklah. Terima kasih juga sudah bekerja sama dalam pembelajaran kita kali ini. Ibu pergi, ya? Kalian tunggu guru bidang studi yang akan masuk."

"Baik bu." Beberapa menyahuti.

Ibu Nadia mengangguk lalu berjalan keluar kelas.

Sepeninggalan Ibu Nadia, seisi kelas langsung ribut. Beberapa langsung membentuk kelompok untuk sekedar mengobrol. Situasinya, seperti kelas normal di saat pergantian mata pelajaran.

"Eh? Tugas seni tadi, kita tiga samaan ya?" Aileen memanggil Diaz dan Vira.
Kedua orang itu lantas menoleh ke belakang dan menatap Aileen.

"Masalahnya, dari kita bertiga nggak ada yang bisa nyanyi." Diaz menghela napasnya pasrah. Dia memiliki firasat bahwa nilai kelompoknya akan hancur kali ini.

"Suara bagus nggak penting. Yang penting percaya diri waktu tampil." Aileen terkekeh.
"Iya 'kan Vira?" Aileen menatap Vira.
Vira hanya mengangguk sambil terkekeh.

"Eh! Percaya diri memang perlu. Tetapi ingat, semua yang berlebihan itu tidak baik." Diaz mengingatkan.

"Halah, gampang. Kita minta diajari sama si Luna nanti. Kita bisa nanya dia nanti." Aileen menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Dia menaik-turunkan kedua alisnya sambil menatap Vira dan Diaz.

Luna memang pandai dalam hal berbau seni. Suaranya saja sangat bagus. Sayangnya, dia jarang mengikuti lomba yang bisa membuat dirinya terkenal.
Luna juga pandai memainkan beberapa alat musik. Piano, biola, gitar, bahkan harmonika dia bisa memainkannya.

"Santai ya hidup lo?" Vira tak habis pikir dengan Aileen.

"Hidup memang harus dibawa santai. Kalo lo mikirin semuanya, lo bisa gila. Ya, nggak Az?" Aileen kini menatap Diaz.

"Iya sih." Kali ini Diaz menurut saja dengan Aileen.

"Yaudah. Ini udah pasti 'kan? Kita satu kelompok?" Aileen bertanya.

AILEEN (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang