TIGA PULUH LIMA

291 17 5
                                    

Mungkin, bagi semua orang yang melihat, Laki-laki paruh baya itu kuat, sangat kuat.

Kesempurnaan yang terlihat, kehidupan yang memikat tanpa cela, kehidupan berlimpah harta tanpa kekurangan. Heru, selalu menjadi tingkat teratas sebagai sosok Laki-laki sukses yang diinginkan semua orang. Berwibawa, awet muda, gagah, disiplin, pintar dan kaya. Semua orang hanya melihat itu dari sisi hidup Heru.

Tetapi, pandangan mereka itu tentu akan luntur saat tahu bagaimana kehidupan yang dijalani Heru.

Dunia memang kejam, karna itu harus dijalani dengan ikhlas dan senyuman.

Senyuman? Bahkan ekspresi yang sering Heru tunjukan lebih banyak mengacu pada raut datar atau wajah dingin. Tapi siapa sangka jika itu adalah cara ampuh menutupi kelemahannya sendiri, Membentuk sebuah kekuatan dari jati diri yang lain.

Sehari, mungkin dapat dihitung berapa kali ia tersenyum. Terkadang senyum yang ia tampakan malah seperti sebuah air mata yang tak terlihat.

***


Sejak kejadian Heru ditemukan Reynad beberapa waktu lalu di ruang kerjanya. Ia langsung dibawa dengan mobil ambulance untuk segera dibawa kerumah sakit. Bahkan sempat membuat heboh semua orang yang berada dirumah sakit karna kondisinya yang sempat kritis. Terutama ... Reynad. Akhirnya ia bisa bernapas lega setelah mengetahui Heru menunjukkan kondisi yang mulai membaik dan stabil. Hingga Reynad tak perlu terlalu khawatir lagi dengan kondisi papahnya.

"Reynad udah makan nak?" Suara Heru terdengar serak diatas ranjang rumah sakit ini. Tubuhnya masih sangat lemah bahkan sekedar berdiri sekalipun. Namun, tetap ia paksakan untuk berdiri.

"Udah pah." Jawabnya singkat. Tangannya sibuk mengupas jeruk lalu menyuapi papahnya dengan penuh perhatian.

Heru mengulas senyum dibibir pucatnya, menerima suapan demi suapan yang anaknya berikan. Sungguh, ia bahagia sedekat ini setelah pernah terasa sangat amat jauh, jangankan untuk menyapanya, mendengar ucapaannya saja tidak pernah, seakan Heru itu hanya menjadi bayangan dihidup anak semata wayangnya ini.

"Anak papah udah besar ya sekarang.."

Reynad menoleh sejenak lalu tersenyum tipis, pandangannya kembali fokus pada jeruk yang sendari tadi ia kupas.

Rahang tegas, mata tajam, alis tebal, Persis. Tidak ada yang berbeda, hanya saja Reynad terlihat lebih tinggi darinya. Menatap tiap inci wajah anaknya sedekat ini, menerima perhatian lebih yang tidak pernah Heru bayangkan. Jika harus merelakan selamanya terbaring dirumah sakit ini sampai ia mati. Sungguh, Heru rela demi terus bersama tanpa pernah merasa pernah begitu sangat jauh.

"Nak.." ujar Heru pelan seraya mengelus pelan pucuk kepala putranya.

Deg.
"I..iya pah." Reynad menunduk, suaranya bergetar. Perasaan apa ini? seakan ada aliran listrik ketika tangan besar itu mengusap pelan kepalanya. Apakah ini yang dinamakan kasih sayang seorang Ayah? Jika itu benar. Sungguh, sungguh Reynad sangat memohon pada tuhan untuk menghentikan waktu didetik ini juga.

Bahagia? Iya, sangat bahagia, sangat - sangat bahagia. Usapan itu seakan mengembalikan semua yang pernah hilang, semua yang sempat direbut paksa darinya. Setelah sekian lama hatinya membeku akhirnya mampu mencair kembali dengan sekali sentuhan.

"Maaf.. Maafin papah nak.." ucap Heru seraya mengeluarkan air mata dengan suara isakan yang memilukan. Perasaan bersalah semakin mengeruak dihati laki laki paruh baya itu.

Reynad tertegun setelah menyadari papahnya meneteskan airmata. Sepanjang hidupnya, ini pertama kali papahnya; orang yang begitu kuat, tegas. kini melihatkan sisi lainnya.

"Harusnya Reynad yang minta maaf pah." Ucapnya pelan.
"Reynad jahat, Reynad keras kepala, Reynad gak pernah liat kondisi papah. Reynad selalu nyalahin papah tanpa liat alesan papah."
"Maafin Reynad yang gak pernah dengerin papah. Reynad.. Reynad nyesel pah.."

"Reynad sayang... Reynad sayang sama papah.." Guman Reynad pelan, sangat pelan. Reynad tidak menyangka kalimat itu terlontar dari bibirnya. Sebuah kalimat yang sebenernya ingin sekali ia ucapkan sejak dulu.

Dengan susah payah menahan isaknya, Reynad merasakan sesosok tubuh yang tengah memeluknya perlahan. Sebuah pelukan paling hangat yang "mungkin" baru pertama kali ia rasakan, setelah sekian lama.

Reynad membalas pelukkan sang papah, Tangisnya pecah, Melebur semua rasa yang pernah terkubur begitu dalam.

Tidak ada lagi air mata yang berusaha laki-laki itu tahan, Air mata itu mengalir tanpa beban. Reynad tidak perduli jika ia sekarang terlihat seperti laki-laki lemah. Sungguh, pelukan ini benar-benar harapan terbesar yang sempat ia pikir takakan terjadi.

Tidak ada rasa sesak lagi yang kini Heru rasakan, tidak ada suara perlawanan, suara kebencian, tidak ada lagi sebuah hantaman kenyataan yang hebat menimpah dadanya. Semua terasa sangat melegakan. Akhirnya hari ini tiba, Hari dimana waktu akan mengabadikan setiap kebahagiaan yang tak akan bisa terlupakan dengan mudah. Heru tidak akan ingin meminta apapun lagi setelah ini. Sudah cukup! Kebahagaiannya sudah ditemukan. Sebuah kebahagiaan yang membuatnya belajar tentang arti ketulusan.

***

Reynad memandangi ponselnya, membuka-menutup-membuka-menutupnya lagi, terus seperti itu sampai akhirnya ia lelah lalu kembali meletakkan ponselnya dimeja nakas rumah sakit yang tak jauh darinya. Sudah tiga minggu berlalu tidak ada kabar sama sekali tentang Lia. Hari terakhir bertemu tepat saat peristiwa memalukan itu. Setelah itu, mereka sudah tidak bertemu lagi. Pikiran Reyand terus tertuju pada peristiwa itu. Ya, memang ini sudah terlewat batas dan Reynad pun siap dengan keputusan Lia yang mungkin saja akan meninggalkannya. Ingin Reynad hanya satu, maaf dari gadis yang sudah banyak merasakan luka darinnya. Dan seharusnya yang sekarang Reynad lakukan adalah itu. Sayang, ia tidak cukup keberanian untuk bertemu gadis itu sekarang.

Ahh! Kenapa gua sebego ini sih, umpat pelan.

"Reynad kenapa nak?" Tanya sang papah.
Reynad menggeleng lalu tersenyum tipis, berusaha terlihat sebaik mungkin.

"Lia yah?" Reynad memandang wajah Heru terkejut. "Pa..papah kenal Lia?"

Heru tersenyum ketika melihat ekspresi anaknya yang terkejut karnanya.

Reynad mengerutkan dahinya, sungguh Laki-laki itu tidak mengerti apa yang dikatakan oleh papahnya.

"Papah? Papah tau Lia??"

"Dia persis seperti mendiang ibumu. Gadis kuat, gadis baik, jangan sia-siakan. Nanti kamu menyesal."

***

Sekian lama pergi, akhirnya kembali lagii:v
pendek? Iya sengaja wkwk
Selamat membaca:)
Jangan lupa tinggalkan jejakmu.

-Author.

AURELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang